Page 106 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 106
94 Tri Chandra Aprianto
secara serentak juga ter(di)integrasikan dalam sistem birokrasi
kolonial yang berbasis pada usaha perkebunan. Adanya struktur
birokrasi politik pribumi yang kemudian dikenal dengan pangreh
praja (Inlandse Bestuur). 5
Tanah-tanah perkebunan berkembang (luas) dengan sangat
pesat. Tidak saja merambah hutan yang kemudian dialihfungsikan
ke perkebunan, tapi juga menyasar tanah-tanah pertanian milik
masyar T bawah menunjukkan bagaimana k
tanah-tanah untuk tanaman perkebunan Jawa
luar Jawa.
Tabel 2
Keluasan lahan usaha perkebunan tahun 1930
(dalam hektar) 6
Wilayah Perkebunan Hak Sewa dari Sewa dari jumlah
swasta erfpacht desa petani
penggarap
Jawa 502.000 680.000 70 204.000 1.475.000
Luar Jawa 2.000 1.071.000 1.250.000 - 2.324.000
Jumlah 504.000 1.751.000 1.320.000 204.000 3.799.000
Perkembangan sektor pertanian perkebunan ini mampu
menggantikan tanaman individu menjadi tanaman yang bersifat
massal dengan skala penyediaan tanah yang begitu luas pula.
Sementara penguasaan tanah juga mengalami pergeseran, tidak
lagi pada individu-individu masyarakat petani yang sempit dari
segi keluasannya, tapi sudah berada di tangan individu pemilik
perusahaan dengan keluasan yang luar biasa. Situasi inilah yang
kemudian melahirkan adanya ketidakadilan agraria yang harus
diterima oleh masyarakat perkebunan Jawa.
5 Lihat pada Heather Sutherland, The Making of a Bureaucratic Elite
(Singapore: Heinemann Educational Books, 1979), hlm. 3-6.
6 J. S Furnivall, Netherlands Indies: A Study of Plural Economy (Cambridge:
University Press, 1944), hlm. 312.