Page 302 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 302
290 Tri Chandra Aprianto
walaupun kebanyakan tetap di daerah sekitar perkebunan Ketajek,
yaitu di Desa Suci dan Desa Pakis. Setidaknya ada tiga warga yang
meninggal akibat peristiwa di atas sepanjang dua tahun tersebut. 21
Sedikit berbeda dengan di atas, untuk tanah perkebunan di
Sukorejo, yang juga menerima SK Menteri Pertanian dan Agraria No.
50/KA/1964 untuk seluas tanah 354 hektar sebagai objek landreform.
Tanah tersebut merupakan tanah bekas hak erfpacht No. verponding
414. Padahal pada 15 Desember 1964, keluar SK pendukung dari
Menteri Pertanian Agraria No. BH/49/19 yang berisi dua hal: (i) untuk
segera di redistribusi tanah perkebunan tersebut; (ii) pengecualian
tanah seluas 62.75 hektar, berdasar Keputusan Gubernur Jawa
Timur No. C/B.A/7c/1709 untuk TNI AD. Upaya untuk redistribusi
tanah yang sudah dikelola oleh masyarakat tersebut tidak kunjung
dilaksanakan. Hingga akhirnya terjadi peristiwa yang memilukan
1965-66, yang menghentikan upaya-upaya penataan ulang atas
penguasaan sumber-sumber agraria yang lebih adil di Indonesia.
Sejak saat itu masyarakat perkebunan di daerah Sukorejo
sedikit mengalami ketakutan. Isu landreform seakan-akan milik
orang-orang komunis. Begitu juga orang yang memperjuangkan
pelaksanaannya dapat digolongkan dalam komunis. Sebagaimana
disebutkan dalam sub-bab di atas, kekuatan Orde Baru memang
membangun dan memaksakan imajinasinya bahwa landref
adalah produk komunis. Hingga akhirnya pada tahun 1966, Menteri
Pertanian dan Agraria berkunjung ke Jember dan menguatkan SK
Menteri Pertanian dan Agraria No. 50/KA/1964, serta menyatakan
masyarakat perkebunan Sukorejo tidak ada kaitannya dengan PKI.
Mendapat angin segar tersebut, masyarakat perkebunan mulai
mengajukan surat desakan untuk pelaksanaan SK Menteri Pertanian
Agraria No. BH/49/19. Surat desakan itu dilayangkan tiga tahun
21 Laporan Forum Solidaritas Petani Tapal Kuda, (Tidak diterbitkan),
2000.