Page 299 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 299
Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan 287
Kendati begitu tidak semua tanah merupakan area produksi
tanaman perkebunan, karena masih ada sungai, kampung dengan
pemukiman yang padat penduduk, dan jalan serta fasilitas sosial
18
yang luasnya mencapai 230,468 ha. Jenggawah telah menggar
tanah-tanah perkebunan bekas pemilik erfpacht sejak ditinggalkan
akibat krisis yang kemudian berlanjut perang. Di tambah lagi daerah
ini merupakan lahan perkebunan tembakau yang penduduknya
sangat padat.
Sejak penguasaan HGU oleh pihak PTP XXVII, saat itu pula
masyarakat perkebunan telah dikeluarkan dari lahan perkebunan,
dan struktur agraria kembali seperti pada masa kolonial. Ironisnya
surat-surat yang melegitimasi hak atas lahan yang dimiliki rakyat
(Petok D) dipaksa untuk diserahkan pada pihak perkebunan. Sejak
saat itu pula masyarakat perkebunan mulai bersinggungan dengan
kekerasan aparat keamanan (tentara) kembali. Adanya dukungan
penuh dari pihak tentara itu menjadikan perusahaan perkebunan
menjadi semakin digdaya. Mereka mulai berani membangun
gudang-gudang baru untuk pengeringan tembakau di atas tanah
masyarakat perkebunan yang telah mereka keluarkan.
Sementara untuk masyarakat sendiri, pihak perusahaan melarang
masyarakat untuk mendirikan gudang pengeringan tembakau (walau
dari bambu). Kalaupun sudah terlanjur harus segera dibongkar. Selain
itu areal lahan perkebunan betul-betul milik perusahaan, masyarakat
tidak boleh terlibat menanam, termasuk menanam tanaman pangan.
Sementara bagi yang ingin terlibat dalam proses tanam tanaman
perkebunan harus bersedia menjadi buruh di perusahaan. Tidak
ada perlawanan ber karena selain trauma dengan peristiwa 1965-
1966 tuduhan sebagai komunis pada tahun-tahun tersebut masih
menakutkan bagi masyarakat perkebunan. 19
18 SK No. 15/HGU/DA/1970.
19 Jos Haid, Perlawanan Petani Jenggawah, hlm. 44-6.