Page 55 - Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan: Partisipasi Politik, Klaim dan Konflik Agraria
P. 55
Perjuangan Landreform Masyarakat Perkebunan 43
sudah menghilangkan hak masyarakat primbumi dalam membuka
lahan baru. Selanjutnya tonggak kelima adalah lahirnya Agrarische
16
Wet (1870) (Undang-Undang Agraria), dimana terdapat pengaturan
17
kebijakan politik agraria kolonial yang diskriminatif pembukaan
atas tanah oleh Pulau Jawa dan Madur Untuk
tanah yang tidak ada pemiliknya (niemandsgrond) di Jawa Barat dan
Jawa Timur, maka pemerintah dapat dengan bebas menjatuhkan
penguasaan atas tanah tersebut, tanah menjadi hak pemerintah.
18
Kelima tonggak transformasi agraria tersebut mampu mengubah
struktur agraria di berbagai wilayah yang kemudian dikenal sebagai
daerah perkebunan di Indonesia, termasuk di Jember. Selanjutnya,
transformasi agraria juga melahirkan struktur sosial yang baru,
baik itu sektor ek maupun kewilay
kehadiran struktur sosial baru disertai dengan dampak ikutan seperti
konlik dan kekerasan, yang kesemuanya akan dijabarkan pada bab-
bab selanjutnya.
A. Struktur Agraria Baru
Sebelum mengenal sistem ekonomi perkebunan, sistem
kepemilikan tanah masyarakat wilayah Karesidenan
(Situbondo Bondowoso Jember dan Banyuw y sebelumny
diperuntukkan hanya dalam rangka pemenuhan kebutuhan
subsistensi sehari-hari. Kalau merujuk pada adat istiadat di Jember,
lahan pertanian baik yang berupa tanah tegalan maupun tanah sawah
statusnya adalah tanah milik perorangan. Hak atas kepemilikan
keuntungan komoditi ekspor, maka mereka menentang sistem tanam
paksa, kemudian mendesak parlemen guna melibatkan mereka dalam
pengelolaan sumber-sumber agraria di negeri jajahan. Gunawan
Wiradi, Reforma Agraria, hlm. 125.
16 Cornelis van Vollenhoven, Orang Indonesia, hlm. 4.
17 Mochammad Tauchid, Masalah Agraria, hlm. 18-25.
18 Cornelis van Vollenhoven, Orang Indonesia, hlm. 92.