Page 222 - Problem Agraria, Sistem Tenurial Adat, dan Body of Knowledge Ilmu Agraria- Pertanahan (Hasil Penelitian Sistematis STPN 2015)
P. 222

I Gusti Nyoman Guntur, Dwi Wulan Titik Andari, Mujiati
            204

                Perolehan  secara original  melalui  pembukaan  hutan  primer dapat
            dilakukan  secara bersama-sama  oleh masyarakat  adat  tersebut bagi
            kepentingan pendirian  kampung, rumah  betang/rumah  tinggal,  dan
            sebagainya.  Kegiatan  ini dilakukan  secara gotong  royong  oleh  seluruh
            warga, selanjutnya sebagian tanah tertentu dibagikan pada seluruh warga
            masyarakat  yang ikut membuka  tanah (hutan)  menurut hukum  adat
            setempat. Perolehan bagian tanah oleh warga sebagai imbalan membuka
            hutan  dapat  berlangsung  secara  turun  temurun  sehinga  lama  kelamaan
            menjadi  hak milik  sebagaimana  tahapan  yang  disampaikan Herman
            Soesangobeng di atas. Dapat dikatakan, teori pemilikan tanah berdasarkan
            hukum adat adalah  tanah  merupakan  milik  komunal atau  persekutuan
            hukum (beschikkingsrecht).  Dalam hal  ini  setiap  anggota  persekutuan
            dapat mengerjakan tanah dengan jalan membuka tanah terlebih dahulu
            dan jika mereka mengerjakan tanah tersebut secara terus-menerus maka
            tanah tersebut dapat menjadi hak milik secara individual.
                Pola ini  agaknya berbeda  dengan hasil  penelitian  di Gianyar Bali ,
                                                                           7
            yang menemukan bahwa tanah druwe (druwe artinya kepunyaan), lazim
            disebut tanah adat yang dikualifikasikan sebagai tanah ulayat  merupakan
                                                                 8
            tanah bersama yang dikuasai dan dimiliki oleh desa adat (pakraman) secara
            komunal. Sebagian tanah komunal ini penguasaan dan pemanfaatan sehari-
            hari diserahkan  kepada  krama  (anggota  masyarakat)  desa adat  secara
            individual untuk memenuhi kebutuhan seperti tempat tinggal atau tanah
            pertanian.  Tanah  dimaksud  (disebut  tanah  Ayahan  desa),  dikelola  dan
            dimanfaatkan oleh anggota masyarakat sejak lama secara turun-temurun,
            dan tidak akan pernah menjadi tanah milik warga (krama) secara individu.

                Disamping pola penguasaan tanah secara original melalui hak ulayat
            sebagaimana  di  atas, ternyata terdapat  pula  pembukaan tanah  (hutan
            primer) oleh masyarakat adat yang sejak semula bukan berasal dari tanah
            ulayat.  Hutan  belantara dibuka oleh  masyarakat secara perorangan atau
            kelompok dan  selanjutnya  tanah dimaksud  langsung dibagi-bagi  pada
            mereka yang ikut menebang pohon guna membangun rumah tempat tinggal



            7   Guntur, I  Gusti Nyoman,  dkk,  2013,  Dinamika  Pengelolaan  Tanah  Adat  di
                Kabupaten Gianyar dan  Bangli Provinsi Bali, Laporan Penelitian Strategis
                PPPM-STPN, Yogyakarta, hal. 34-35; Tanah Ayahan Desa berupa pekarangan di
                Gianyar disebut dengan PkD, dan berupa tegalan atau sawah di Bangli disebut
                AyDs.
            8   Lihat Swasthawa Dharmayuda.,  I  Made. 1987.  Tanah  Adat  Bali.  Fakultas
                Hukum Universitas Udayana. Bali.
   217   218   219   220   221   222   223   224   225   226   227