Page 240 - Problem Agraria, Sistem Tenurial Adat, dan Body of Knowledge Ilmu Agraria- Pertanahan (Hasil Penelitian Sistematis STPN 2015)
P. 240

I Gusti Nyoman Guntur, Dwi Wulan Titik Andari, Mujiati
            222

            ketika  kontrol  masyarakat adat  terhadap  hutan wilayah adat  hilang dan
            diambil alih oleh otoritas Kehutanan. Kondisi ini diperparah oleh kelalaian
            otoritas Kehutanan melakukan konsultasi yang layak dengan komunitas-
            komunitas adat  yang  hutan adatnya dimasukkan  sebagai  Hutan  Negara
            dalam penetapan secara sah tata batas kawasan hutan Negara. Menurut
            Kepala BPKH Kalteng,  apalagi  pada  waktu  penunjukan kawasan  hutan
            dalam praktik lapangan pembuatan peta TGHK 1982 menggunakan peta
            dengan  sekala kecil, maka besar kemungkinan  penguasaan  tanah-tanah
            oleh masyarakat adat  tidak  terpetakan  secara baik (karena  tidak masuk
            dalam minimal unit pemetaan).
                Persoalan penataan ruang yang diharapkan dapat memberi jaminan
            hukum  kepada masyarakat  tentang  kepastian keberlanjutan  tempat
            hidupnya seakan-akan  menjadi  semakin  rumit  dan  pelik,  bahkan
            menyimpang  dari  tujuan semula  pengelolaan  pertanahan  yaitu sebagai
            ruang  tempat hidup menuju  sebesar-besar kemakmuran  dan keadilan
            rakyat secara berkelanjutan, tetapi cenderung menjadi ajang pemenuhan
            kepentingan  sektoral  yaitu  kehutanan,  perkebunan, pertambangan,  dan
            sebagainya.
                Permasalahan  masyarakat adat  Dayak di desa-desa  yang  berada
            pada kawasan hutan yang  telah  ditetapkan  secara  sepihak menciptakan
            rasa ketidak-adilan, karena tidak berhasil melegalisasikan asetnya hanya
            karena berada dalam kawasan hutan. Sebagai contoh dalam hal ini adalah
            gagalnya  pelaksanaan  Prona  di Kabupaten  Sampit.  Menurut  otoritas
            pertanahan dan diakui oleh masyarakat setempat, bahwa pada awal Tahun
            2015 di Desa Tumbangkoling telah dilakukan pengukuran bidang-bidang
            tanah pekarangan dalam rangka Prona, namun setelah selesai pengukuran
            tidak dapat dilanjutkan proses pensertipikatannya,  karena  ternyata desa
            tersebut  masuk  dalam  kawasan  hutan.  Harapannya,  dengan  adanya
            Perber terhadap  bidang-bidang  tanah  yang  telah  dilakukan  pengukuran
            dimaksud dapat ditindaklanjuti. Oleh karena itu, otoritas pertanahan telah
            memprioritaskan perencanaaan pelaksanaan operasionalisasi Perber pada
            Tahun 2015 ini di lokasi rencana Prona dimaksud.
                Gagalnya  pelaksanaan  Prona dimaksud,  disadari  bahwa aparat
            penegak  hukum  sering menggunakan  Peta  TGHK  1982  sebagai  acuan
            untuk menjadikan tersangka atau terdakwa seseorang (termasuk petugas
            ukur Kemeterian  ATR/BPN, misalnya  dalam  penerbitan bukti hak
            atas  tanah  pada  wilayah  yang  diklasifikasikan  sebagai  kawasan  hutan),
   235   236   237   238   239   240   241   242   243   244   245