Page 28 - Problem Agraria, Sistem Tenurial Adat, dan Body of Knowledge Ilmu Agraria- Pertanahan (Hasil Penelitian Sistematis STPN 2015)
P. 28

Tjahjo Arianto, Tanjung Nugroho, Eko Budi Wahyono
            10

            2.  Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hak
                milik terjadi karena:
                a.  penetapan  Pemerintah,  menurut cara dan  syarat-syarat  yang
                    ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
                b.  ketentuan undang-undang

                Van  Vollenhoven menyebut hak menguasai  dari  masyarakat  adat
            dengan ‘beschikkingsrecht’  yaitu  hak untuk  mengatur  penyediaan,
            pemberian kuasa menggunakan dan memanfaatkan  tanah agar hasilnya
            bisa dinikmati orang pribadi, keluarga, maupun masyarakat hukum adat.
            Hak menguasai masyarakat hukum adat itu dengan demikian bukan hak
            milik tertinggi yang mutlak di atas hak milik perorangan secara pribadi,
            keluarga  maupun  organisasi  masyarakat.  Karena  itu, hak  menguasai
            masyarakat  hukum adat  itu,  tidak dapat disamakan dengan  hak  milik
            mutlak  tertinggi  yang  dipahami  pada ajaran dan azas  hukum  Common
            Inggeris dan Anglo-Saxon Amerika.
                Hak menguasai  dalam Hukum Pertanahan  Adat itu, lebih bersifat
            mengatur penggunaan tanah dan menjaga keamanan pemilikan individu,
            agar tanah bisa terus dimanfaatkan oleh warga dan keturunannya sampai
            kapanpun,  tanpa batas  waktu.  Warga masyarakat hukum  pun  dianggap
            tidak pernah lenyap, melainkan tetap hidup dalam masyarakat meskipun
            dalam  bentuk  roh-roh  nenek  moyang.  Maka  setiap  tindakan  manusia
            atas tanahnya, harus selalu dilakukan dalam bentuk dialog dan perjanjian
            sacral antara manusia dengan roh-roh nenek moyang dan tanah yang juga
            dipandang berjiwa untuk menghidupkan manusia. Konsepsi filosofis inilah
            yang mendasari adanya kekuasaan serta hubungan abadi antara manusia
            dengan tanah miliknya, sehingga Ter Haar menyebutnya sebagai sebuah
            hubungan hukum yang kuat dan abadi. Jadi kedudukan hukum dari hak
            menguasai masyarakat hukum  adat itu  adalah  sebagai  tuan (empunya)
            yang mempunyai tanah dengan ‘hak kepunyaan’, yang belum sekuat dan
            sepenuh untuk menjadi hak milik.
                Konsep ‘hak menguasai  tanah’  sebagai  ‘empu’  atau ‘tuan’-nya  dari
            masyarakat  hukum adat  itu,  terbukti  telah diterjemahkan  kembali dan
            ditafsirkan  secara kontemporer, bahkan  sudah  dilembagakan menjadi
            norma dasar konstitusional dalam pasal 33 UUD 1945 serta pasal 2 ayat 1
            dan 2 UU No. 5/1960 (UUPA 1960). Juga keabadian hubungan manusia-
            masyarakat dan  tanah,  pun  sudah dibakukan  kembali dalam  rumusan
            pasal 1 ayat 3 UUPA 1960. Jadi konsep filosofi adat tentang hak kekuasaan
   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33