Page 199 - Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi_Dr. Aninditya Sri Nugraheni, M.Pd
P. 199

Lebih  lanjut  jika  kisah  dihubungkan  dengan  kisah  klasik  seorang  tokoh  dunia  Thomas  Alfa
               Edison terdapat satu benang merah yang menandakan bahwa memang penanaman sugesti adalah
               bagian  terpenting  dalam  keberhasilan  suatu  proses  pendidikan.  Thomas  Alfa  Edison  dulu  juga
               pernah  mengalami  masa-masa  suram  dalam  dunia  pendidikan.  Dia  pernah  dikeluarkan  dari
               sekolahnya karena dianggap sebagai siswa yang terbodoh dan sulit untuk memahami pelajaran. Dia
               terlalu  sering  bertanya  sehingga  sering  membuat  gurunya  marah.  Sampai  kemudian  Thomas
               mendapatkan surat peringatan untuk keluar dari sekolah tersebut. Surat tersebut disampaikannya
               pada  Nelly,  ibunya,  ibunya  sangat  merasa  kecewa  ketika  ia  diminta  memindahkan  Thomas  ke
               sekolah  lain  karena  rasa  sakit  hatinya  yang  begitu  mendalam  akhirnya  Thomas  Alfa  Edison

               dibimbing  oleh  ibunya  sendiri  dengan  home  schooling dengan  penuh  kesabaran  ibunya
               menanamkan  kepercayaan  diri  kepada  Thomas,  sampai  dengan  akhirnya  Thomas  Alfa  Edison
               menjadi  sejarah  dalam  dunia  pendidikan,  karena  ia  mampu  menemukan  bola  lampu  dan  ribuan
               penemuan yang lainnya.
                  Menilik  dari  beberapa  pertimbangan  di  atas  bahwasannya  permasalahan  pendidikan  sudah
               semakin pelik dan memerlukan sebuah solusi yang dapat membantu kaum akademisi untuk keluar
               dari  krisis  karakter  anak  bangsa,  untuk  itu  dalam  makalah  ilmiah  ini  penulis  ingin  menawarkan
               sebuah  solusi  dari  degradasi  nilai-nilai  karakter  dengan  penguatan  modal  spiritual  menggunakan
               hypnoteaching approach  sebagai bentuk dari kepedulian dari guru terhadap pembentukan karakter
               siswa-siswa Madrasah Ibtidaiyah.

               B.  PEMBAHASAN
               1.  Urgensi Penanaman Karakter dalam Sistem Pendidikan
                  Perkelahian  antarpelajar  yang  masih  sering  terjadi  disamping  peristiwa  kekerasan-kekerasan

               dalam  kehidupan  remaja  termasuk  maraknya  bullying (pemalakan/pemerasan  di  kalangan  anak-
               anak) pada anak remaja bahkan terjadi pada tingkat SD menguatkan asumsi bahwa pendidikan kita
               telah  gagal  dengan  menginterpretasikan  bahwa  tolok  ukur  kecerdasan  adalah  pada  kecerdasan
               intelektual semata, tanpa mengindahkan unsur sosial dan spiritual. Umumnya orang beranggapan
               hasil  tes  IQ  berkaitan  dengan  kecerdasan  anak.  Anak  ber-IQ  130  dianggap  berkemampuan  luar
               biasa dalam segala bidang (termasuk sosial dan spiritual). Jika ada anak yang berprestasi dalam
               bidang  olahraga  dan  kesenian,  namun  ber-IQ  taraf  rata-rata  atau  rendah,  (anak  tersebut  nilai
               matematikanya jelek) maka anak tersebut dianggap sebagai anak bodoh, tanpa ada justifikasi yang
               lebih halus (walaupun ia sebenarnya berpotensi untuk bidang yang lain). Pemahaman seperti itu
               tidak  tepat,  IQ  hanya  mengukur  kemampuan  linguistik  (kebahasaan)  dan  logika  matematika,
               sedangkan kecerdasan mengacu pada kemampuan problem solving (memecahkan masalah).
                  Sistem pendidikan yang hanya mementingkan aspek Intelectual Quotient (IQ) atau kemampuan
               otak  dan  daya  pikir  semata,  tanpa  menghiraukan  pentingnya  kecerdasan  emosional/  Emotional


               Quotient (EQ) dan kecerdasan spiritual/  Spiritual Quotient (SQ). Tentunya ada yang salah dalam
               pola pembangunan Sumber Daya Manusia di Indonesia selama ini, yakni terlalu mengedepankan
               IQ, dengan mengabaikan EQ dan SQ. Oleh karena itu, kondisi demikian sudah waktunya diakhiri, di
               mana  pendidikan  harus  diterapkan  secara  seimbang,  dengan  memperhatikan  dan  memberi
               penekanan  yang  sama  kepada  IQ,  EQ  dan  SQ.  Hal  tersebut  dapat  dilakukan  dengan
               menggabungkan IQ, EQ, dan SQ dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. IQ, EQ, dan SQ adalah
               satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, seperti pada ilustrasi bagan 1. di bawah ini.






                                   Bagan 1. Keseimbangan IQ, EQ, dan SQ
                            (Sumber: Ari Ginanjar, dalam M. Furqon Hidayatullah 2010: 197)
                                                                                5


                  Daniel  Golemen,  dalam  bukunya  Working  with Emotional  Intelligence (2002)  menyatakan
               bahwa  “kontribusi  IQ  bagi  keberhasilan  seseorang  hanya  sekitar  20  %  dan  sisanya  yang  80  %
               ditentukan oleh beberapa faktor yang disebut Kecerdasan Emosional (EQ). Dari nama teknis itu ada

                                                                             ,
                     5  Furqon  Hidayatullah,  Pendidikan  Karakter:  Membangun  Peradaban  Bangsa (Surakarta:
               Yuma Pustaka, 2010), hlm. 197.
               Bahasa Indonesia Berbasis Pembelajaran Aktif                        198
   194   195   196   197   198   199   200   201   202   203   204