Page 77 - Tenggelamnya Kapal
P. 77

Meski pun belum pernah kata berkenalan, tetapi nama engku telah lama saya kenal, lantaran
               persahabatan engku yang amat karib dengan Hayati sahabat saya.
               Perhubungan persahabatan engku itu lelah diketahui oleh semua kami: Mulai hari ini lebih baik
               engku putuskanlah perhubungan itu. Pertanra menjaga nama baik Hayati, sebab dia telah
               bertunangan.
               Kedua untuk kemaslahatan engku sendiri, jangan nama engku terbusuk pula, hidup dirantau
               orang.
               Apalah gunanya engku berhubungan dengan dia padahal yang demikian itu perbuatan yang sia-
               sia saja, akan langsung pun tidak juga, tak ubah dengan mengharapkan kelatuhan bintang di
               langit, umur habis badan pun payah, laba hilang rugi bertemu, melarat diangan-angan,
               sengsara dikira-kira.
               Hayati telah menjadi keluarga kami, telah diterima oleh kaum kerabatnya permintaan kami, dia
               telah bertunangan dengan abang saya Aziz, yang sekarang tengah bekerja pada suatu kantor di
               Padang.
               Dan moga-moga kabar ini tidak mengecewakan hati engku.



                                                                                                    Khadijah.



               Jika sekiranya surat yang datang dari keluarga Hayati dahulu seakan-akan letusan selaras bedil
               ke dadanya, maka adalah surat dari Khadijah, yang mengaku sahabat Hayati ini, laksana sebuah
               bom yang meletus ditentang kepalanya.
               Dilipatnya surat itu baik-baik. Setelah itu dia duduk beberapa saat lamanya. Tidak tentu haluan
               yang akan diturutnya.
               Apa yang akan dikerjakannya, padahal "cinta adalah sebagai kemudi dari bahtera kehidupan.
               Sekarang kemudi itu dicabut; ke mana dia hendak berlayar lagi, di mana dia hendak berlabuh,
               teroleng terhempas kian kemari, daratan tak nampak, pulau tak kelihatan. Demikianlah
               perumpamaan nasib anak muda yang maksudnya tiada sampai."

               Lantaran sudah lebih dari satu jam dia tidak ke luar dari kamarnya, maka perempuan tua itu
               pun agak cemas, takut dia kalaukalau anak dagang jauh itu kurang sehat badannya kembali dari
               perjalanan. Lalu diketoknya pintu.
               "Masuklah, mak!" kata Zainuddin.

               Perempuan itu masuk dan bertanya: "Mengapa engkau termenung saja anakku? Apa kabar di
               dalam perjalanan sudah lebih 10 hari meninggalkan rumah, indahkah negeri yang engkau lihat?
               Adakah puas mata memandang?"
               "Semuanya indah 'mak, memang negeri-negeri di Minangka bau ini cantik dan menghidupkan
               semangat semua."
               "Mengapa wajahmu agak berlain 'mak lihat? Kurang sehatkah?."

               "Tidak 'mak ...." ujar Zainuddin sambil berusaha sedapat-dapat hendak menyembunyikan
               kesedihan hatinya.

               "Terangkanlah mengapa? Tempo hari surat mati yang engkau terima dari kampung. Sebelum
               berangkat berjalan baru-baru ini nampak pula berobah mukamu menerima surat, sekarang
   72   73   74   75   76   77   78   79   80   81   82