Page 79 - Tenggelamnya Kapal
P. 79

"Bukan begitu, guru" jawab Muluk; "guru maklum sendiri, saya ini orang yang banyak dosa,
               penyabung, pedadu, penjudi. Jadi tangan saya bernajis. Karena kami pemuda-pemuda Padang
               Panjang ini, meskipun negeri kami penuh dengan rumah-rumah sekolah agama, kami
               kebanyakan hanya bergurau, berburu, main kim dan lain-lain. Tapi sungguh pun seperti itu,
               saya merasa senang sekali guru telah suka tinggal di rumah orang tua saya ini. Karena dia
               hanya sendiri saja menghuni rumah, saya tak bersaudara seorang juga. Bapa saya telah mati
               ditimpa batu ketika gempa yang besar itu. Padahal saya sendiri pun seorang pejalan,
               maklumlumlah guru!"

               Tiba-tiba maknya menyelang: "Engku muda ini katanya hendak meminta tolong kepada engkau
               Muluk. Kalau dapat tolonglah!"

               "Mans yang dapat saya tolong, Insya Allah guru!"
               "Tetapi cuma kita 4 mata saja," kata Zainuddin! [125]
               "Baiklah," jawab perempuan tua itu, "saya pun hendak kebelakang memasakkan nasi dan kopi!"
               Setelah duduk berdua saja mulailah Zainuddin berkata, "Meski pun bang Muluk belum saya
               kenal benar, tetapi saya percaya abang dapat menolong saya, dan dapat pula menyimpan
               rahasia saya."
               "Guru tak usah susah. Meski pun pekerjaan yang saya kerjakan amat buruk, penjudi, tetapi
               memegang amanat saya sanggup. Apalagi menurut adat istiadat kami, judi dan sabung hanya
               pergurauan anak muda saja. Namun basa basi, kami lebih teguh memegangnya dari pada
               orang-orang yang berpangkat sekalipun. Bagi kami tidak boleh menuhuk kawan seiring,
               menggunting dalam lipatan, apa lagi terhadap kepada orang yang telah meminum air ayah
               bunda kita, dan kita pun begitu pula kepadanya."
               "Terima kasih," jawab Zainuddin. Lalu dia mulai menceriterakan halnya sejak mulai ayahnya
               terbuang, kematian ayah bundanya, perjalanan ke Minangkabau, perkenalan dengan Hayati, dia
               diusir orang dari Batipuh, kematian mak angkatnya, suratnya ditolak orang, sampai kepada
               surat Khadijah yang baru saja diterimanya, semuanya tiada yang ketinggalan. Semuanya
               didengarkan oleh Muluk dengan hati-hati, kadang-kadang merah mukanya, kadang-kadang
               sedih, sangatlah iba kasihannva melihat Zainuddin yang selalu dipanggilnya "guru" itu.
               Setelah semuanya diceriterakannya, lalu dia berkata: "Bang Muluk! Saya hendak minta tolong
               supaya abang sudi menyelidiki siapakah agaknya Aziz itu, adakah dia pantas menjadi jodoh
               Hayati..Tolong abang, selidiki! Kalau memang pantas jadi jodohnya, kalau memang Aziz itu
               berperangai baik, untung Hayatilah yang bahagia, nasib saya jugalah yang malang. Tetapi kalau
               Hayati teraniaya, kalau perangai Aziz dapat menyebabkan Hayati makan hati berulatn jantung
               bersuamikan dia, saya akan tetap menjaga dia, saya akan tetap jadi saudaranya, menjadi
               pembelanya, sehingga nyawa saya bercerai dengan badan. Cobalah bang Muluk selidiki siapa
               dia, di mana dia tinggal, bagaimana kelakuannya, [126] berapa saja ongkos yang perlu, saya
               akan membayar!"

               Sedang Zainuddin berkata-kata itu, muka Muluk mulai kerut dan akhirnya dia menggeleng-
               gelengkan kepala.

               "Mengapa abang menggeleng-gelengkan kepala?"
               "Guru tak usah rugi terlalu banyak dalam perkara itu! Meski pun misalnya mencari Aziz akan
               memakan ongkos banyak, haram saya memakan wang guru, guru telah jadi saudara saya.
   74   75   76   77   78   79   80   81   82   83   84