Page 194 - 16Feb18-BG Kristen kelas IX.indd
P. 194
A. Pendahuluan
Kegiatan 1
Guru akan memimpin curah pendapat ini. Untuk itu lebih dahulu siswa diminta
membaca artikel di bawah ini. Mereka boleh berpendapat sesuai dengan pemikiran
dan pengalamannya, Selanjutnya bersama dengan siswa membuat kesimpulan.
Artikel
Dalam realita, orang yang mengalami kebutuhan khusus di Indonesia bermacam-
macam. Ada yang mengalami kebutaan, tuli, dan mengalami masalah anggota tubuh
(tunanetra, tunarunggu, tunadaksa). Mereka yang mengalami tunadaksa misalnya
karena kakinya diamputasi sehingga tidak punya kaki, ada yang tidak memiliki
tangan, bungkuk, anggota badan tidak utuh, dan lain-lain. Juga tarafnya tidak sama,
misalnya masalahnya berat, tidak berat, dan ringan.
Para tunadaksa jumlah yang pasti memang kita tidak memilikinya. Meskipun
demikian, penelitian yang dilakukan oleh World Health Organization dari Perserikatan
Bangsa-Bangsa (United Nation) diperoleh data kasar bahwa yang mengalami
tunadaksa di Asia khususnya di Indonesia kurang lebih 10%, atau sekitar 22 juta
orang pada tahun 2007.
Misalnya, di Yogyakarta sesudah gempa bumi pada 27 Mei 2006 ternyata ada
8.122 orang tunadaksa yang masih bertahan hidup. Mereka kebanyakan dari yang
memiliki tubuh utuh tiba-tiba mengalami tunadaksa. Jumlah ini merupakan separuh
dari jumlah orang-orang yang berkebutuhan khusus di Yogyakarta yang berjumlah
16.000.
Memang di Indonesia banyak hukum dan undang-undang yang melindungi
pribadi tunadaksa baik untuk aras tingkat nasional maupun internasional. Demikian
juga adanya hukum dan sistem pendidikan nasional yang memberi tempat yang
menyatakan bahwa pribadi dengan kebutuhan khusus memiliki kesempatan untuk
mendapat pendidikan maupun pekerjaan. Sudah ditetapkan bahwa untuk 100 tenaga
kerja, seharusnya ada satu orang yang berasal dari pribadi berkebutuhan khusus.
Sayangnya, dalam realita apabila orang melanggar hukum dan undang-
undang tidak ada sanksi untuk mereka, misalnya perlu mempekerjakan satu orang
berkebutuhan khusus diantara 100 pekerja yang ada. Pusat rehabilitasi juga sulit di
jangkau terutama untuk orang-orang miskin. Misalnya, banyak orang tunadaksa yang
masih hidup karena gempa bumi, namun tidak dapat menjangkau transportasi untuk
pergi ke pusat fisioterapi, meskipun layanan fisioteraphi tersebut gratis. Demikian
juga pelayanan sosial yang mereka terima sangat minim.
Khususnya para penyandang tunadaksa yang hidup di Indonesia tidak pernah
mudah. Meskipun demikian, gereja dengan bantuan para orang tua juga telah
mempunyai inisiatif dan merealisasi perhatian dan kepeduliannya kepada para
penyandang tunadaksa. Demikian juga para penyandang tunadaksa juga mempunyai
Kelas IX SMP
186