Page 433 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 433
http://pustaka-indo.blogspot.com
seperti Francis dari Assisi. Dari sumber-sumber yang
beraneka ragam ini, mereka berhasil menciptakan
spiritualitas yang penting bagi kaum Yahudi Prancis dan
Jerman hingga abad ketujuh belas.
Para rabi, dapat diingat kembali, menyatakan bahwa menolak
kenikmatan yang telah diciptakan Tuhan adalah dosa. Tetapi,
kaum Pietist Jerman mengajarkan pengingkaran yang
menyerupai asketisisme Kristen. Seorang Yahudi hanya akan
melihat Shekinah di alam akhirat nanti jika dia memalingkan
diri dari kesenangan dan meninggalkan hobi perintang waktu,
seperti memelihara binatang atau bermain dengan anak-
anak. Orang Yahudi mesti menumbuhkan apatheia, seperti
sikap Tuhan, tak bergeming terhadap cercaan dan hinaan.
Namun, tidaklah mustahil untuk memandang Tuhan sebagai
Sahabat. Mistisisme Mahkota takkan pernah mengimpikan
memanggil Tuhan dengan sebutan “engkau”, seperti yang
dilakukan Eliezar. Keakraban ini merayap ke dalam liturgi,
menggambarkan Tuhan yang imanen dan hadir dengan dekat
sembari tetap transenden:
Segalanya ada di dalam Engkau dan Engkau ada
di dalam segala sesuatu; Engkau mengisi
segala sesuatu dan melingkupinya; ketika
segalanya diciptakan, Engkau ada di dalam
segalanya; sebelum segalanya diciptakan,
Engkau adalah segalanya. 53
Mereka meninggikan imanensi ini dengan menunjukkan
bahwa tak seorang pun bisa mendekati Tuhan dalam dirinya
sendiri, kecuali Tuhan yang memanifestasi kepada manusia
melalui “kemuliaan”nya atau dalam “cahaya agung yang
disebut Shekinah”. Kaum Pietist tidak merisaukan
inkonsistensi yang nyata ini. Mereka lebih memusatkan
perhatian pada persoalan-persoalan praktis daripada
kesenangan-kesenangan teologis, mengajarkan kepada
~426~ (pustaka-indo)