Page 434 - Karen Armstong - Sejarah Tuhan
P. 434
http://pustaka-indo.blogspot.com
sesama Yahudi tentang metode konsentrasi (kawwanah)
dan sikap yang bisa meningkatkan rasa tentang kehadiran
Tuhan. Sikap diam adalah penting; seorang Pietist harus
memejamkan matanya rapat-rapat, menutup kepalanya
dengan syal sembahyang untuk menghindari gangguan,
mengencangkan perutnya, dan mengertakkan giginya.
Mereka merancang cara khusus untuk “mengeluarkan doa”,
yang dirasakan mendorong tumbuhnya rasa Kehadiran ini.
Alih-alih sekadar mengulang kata-kata liturgi, seorang Pietist
harus menghitung huruf-huruf dalam setiap kata,
menjumlahkan nilai numeriknya dan meninggalkan makna
bahasa yang harfiah. Dia mesti mengarahkan perhatiannya
ke atas, untuk mendorong timbulnya rasa tentang realitas
yang lebih tinggi.
Situasi kaum Yahudi di wilayah Islam, yang tak memiliki
permusuhan anti-Semitik, jauh lebih menggembirakan
sehingga mereka tidak membutuhkan ajaran Ashkenazi ini.
Mereka mengembangkan bentuk Yudaisme baru sebagai
respons terhadap perkembangan kaum Muslim.
Sebagaimana para faylasuf Yahudi telah berupaya
menjelaskan Tuhan Alkitab secara filosofis, orang Yahudi
lainnya mencoba memberikan tafsiran mistik dan simbolik
tentang Tuhan mereka. Pada mulanya kaum mistik ini hanya
berjumlah sangat sedikit. Mereka mengajarkan disiplin
esoterik yang diwariskan dari seorang guru kepada muridnya:
mereka menyebutnya Kabbalah, atau “tradisi yang
diwariskan”. Akan tetapi, pada akhirnya Tuhan yang
dikonsepsikan oleh Kabbalah menarik perhatian mayoritas
umat dan menancap dalam imajinasi kaum Yahudi dengan
cara yang tidak pernah dicapai oleh Tuhan para filosof.
Filsafat mengancam untuk mengubah Tuhan menjadi
abstraksi yang jauh, tetapi Tuhan kaum mistik mampu
menyentuh ketakutan dan kecemasan yang terletak lebih
~427~ (pustaka-indo)