Page 210 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 210

bisa  mengurangi   beban  orang  tua,  kasihan  kan  orang  tua  kalau
              harus  susah  mencari  biaya  kuliah  saya?"

                   Apa  pun   alasannya,  kecenderungan    ingin  cepat  lulus  dari
              bangku  kuliah  itu  menunjukkan  bahwa   orientasi  belajar sekarang
              memang   lebih  ke produk atau  hasil  akhir dan kurang menghargai
              proses.  Padahal,  proses  mendapatkan     ilmu  pengetahuan auh
                                                                              j
                                                                             J
              berharga  daripada  produk   pengetahuan    itu  sendiri.  Orang awa
              mengatakan:    ilmu  iku  kalakone  katili  laku  (pencapaian  ilmu  itu
              melalui  proses  belajar).  Laku  atau  proses  itu  bisa  dalam  hitungan
              bulan,  tapi  bisa juga  dalam hitungan  tahun.  Substansi  dari  pesan
              itu  adalah,  tidak  ada  ilmu  yang  dapat  dipetik  begitu  saja  tanpa
              melalui  proses.

                   Saya  masih   teringat  orang-orang  di  kampung    saya,  yang
              sampai   akhir  1980-an  masih  mengenal    tradisi  meguru  (mencari
              guru)  yang   dilakukan   oleh  anak-anak   muda   (laki-laki)  yang
              menginjak   dewasa. Setiap  laki-laki setelah sunat  (waktu  itu  sunat
              dilakukan  pada  usia  antara  15-18  tahun)  dan  sebelum  menikah,
                               j
              mereka  mengisi iwanya    dengan berguru    kepada  seseorang yang
              dinilai  memiliki  ilmu.  Ilmu  yang  mereka   cari  bukanlah   ilmu
              kekebalan  tubuh,  melainkan   ilmu  yang  mereka  anggap   berguna
              untuk  bekal  hidup  sebagai  petani,  seperti  ilmu  mengusir  hama,
              mengusir bala,  bencana,  dan  sejenisnya.  Dalam  proses  pencarian
              ilmu  itu,  mereka  melalui  berbagai  tahapan,  seperti  puasa  Senin-
              Kamis  selama   tujuh  kali,  puasa  mutih  (tidak  makan  garam)  dan
              ngrowot  (hanya  makan   umbi-umbian,    bukan   nasi  dan  sayuran
              saja),  masing-masing  tiga  hari,  lalu  hidup  di  hutan  selama  tujuh
              hari  tujuh  malam.  Setelah  itu  barulah  kalam  (tamat), yang ditandai
              dengan   selamatan.  Sebelum   katam,  pada  malam  ketujuh  setelah
              tidur di  hutan  itu,  ilmu  mereka  dicoba  dulu  dengan cara  mereka
              diminta  membawa      satu  ikat  kayu  bakar  yang  cukup  banyak,
              lalu  setelah  sampai  di  rumah  disuruh  meletakkan  dengan   cara
              dibanting,  entah  orang  yang  di  dalam  rumah   mendengar    ban-
              tingan  tersebut  atau  tidak.  Bila  mendengar,  yang  bersangkutan
              dinyatakan   belum  katam.  Tapi  bila  tidak  terdengar,  dinyatakan
   205   206   207   208   209   210   211   212   213   214   215