Page 214 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 214
pengetahuan tidak hanya ditempatkan sebagai produk, tapi
sebagai instrumen saja, yaitu instrumen mencari gelar atau
pekerjaan. Tujuan akhir yang ingin dicapai melalui program se-
mester pendek itu bukan penguasaan ilmu pengetahuan,
melainkan selembar ijasah untuk bekal mencari kerja yang
menghasilkan uang. Jadi, belajar di sini sangat instrumentalis.
Padahal, belajar di institusi pendidikan formal itu sebetul-
nya proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, pendewasa-
an diri, pematangan pribadi, berkomunikasi, berorganisasi, dan
membangun relasi dengan sesama agar menjadi pribadi yang
dewasa, berwawasan luas, berjiwa matang, tidak kuper, punya
prinsip hidup yang kuat, memiliki integritas yang tinggi, dan
tidak plin-plan. Sebagai proses, ukuran keberhasilan bukan hanya
produk akhir saja, tapi uga terlaksananya proses itu sendiri.
j
Dengan kata lain, indikator yang perlu dilihat bukan hanya indi-
kator hasil saja, tapi juga indikator proses.
Belajar yang hanya bertujuan untuk mendapatkan nilai, sta-
tus, ijasah, atau gelar sebenarnya mereduksi makna belajar itu
sendiri. Di sana, ada siklus yang dipotong. Kalau nilai, status,
ijasah, dan gelar bisa didapatkan secara singkat dalam waktu
satu-dua bulan, tidak harus bercapek-capek dan berlama-lama,
mengapa harus menunggu satu semester? Kalau dalam waktu
pendek saja dapat meraih itu semua, mengapa harus diperpan-
jang? Itulah cara berpikir yang sangat pragmatis dan reduksionis.
Orang beranggapan bahwa kuliah itu sekadar untuk mendapat-
kan ijasah atau gelar saja. Oleh sebab itu, tak jarang di antara
mereka kemudian menggunakan biro jasa pembuatan karya
tulis, skripsi, atau tesis karena bagi mereka yang diutamakan
memang bukan pengetahuan dan pengalaman membuat karya
tulis, skripsi, atau tesis itu, melainkan status, ijasah, atau gelar-
nya. Menjamurnya institusi-institusi yang menawarkan gelar
hanya dengan harga Rp 3 - 5 juta tidak terlepas dari kecende-
rungan masyarakat berpikir instan.