Page 39 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 39
250 juta. Tapi tidak pernah ada pengumuman secara terbuka
nomor-nomor tes yang diterima melalui jalur khusus beserta
besaran sumbangannya. Yang muncul di media massa hanya me-
ngatakan secara umum, bahwa mereka yang diterima melalui
jalur khusus itu tidak lebih dari 20%, sedangkan 80% melalui
jalur reguler dan PMDK.
Padahal jelas, yang terjadi di PTN di Indonesia sekarang
ini suatu ironi. Ketika bangsa Indonesia sedang dalam keterpu-
rukan dan untuk mengentaskannya dibutuhkan pendidikan yang
baik, yang terjadi justru pendidikan tinggi semakin dibuat mahal
sehingga hanya dapat diakses oleh orang-orang kaya saja. Shreya,
seorang anak muda dari India yang membantu proyek modern-
isasi desain becak di Yogyakarta —agar becak di Yogya lebih
ringan dan nyaman —heran melihat kebijakan pemerintah
Indonesia terhadap PTN. Kawan itu berkomentar: "Bagaimana
orang Indonesia bisa pandai, sedangkan untuk bersekolah saja
harus bayar mahal?" Dia bertutur demikian karena di India,
yang kekayaan alamnya saja kalah dengan Indonesia, untuk men-
dapatkan pendidikan tinggi yang baik itu mudah dan murah.
Tapi di Indonesia justru lebih mahal dan belum tentu bermutu.
Ironisnya lagi, apa yang disebut otonomi PTN itu hanya
sebatas pembiayaannya saja, sedangkan kebijakan lainnya, ter-
masuk kurikulum, tidak otonom; terbukti masih ada Kurikulum
Nasional (Kurnas). PTN tidak bisa otonom dalam menentukan
kurikulum yang akan dikembangkannya. Terbukti, dalam suatu
dialog dengan mahasiswa (April 2002), ketika Rektor Universi-
tas Soedirman (UNSOED) Purwokerto ditantang untuk meng-
hapuskan mata kuliah Kewiraan, Roebiyanto tidak berani dan
mengatakan Pancasila dan Kewiraan menjadi wewenang
Kurikulum Nasional. Hal itu sangat berbeda dengan kondisi di
negara-negara maju, terutama di Eropa. Di Jerman, Inggris,
Belanda, Prancis, dan negara-negara Eropa lainnya, dukungan
dana dari pemerintah sama sekali tidak bertentangan dengan
otonomi luas yang dimiliki universitas.