Page 37 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 37
disebut sebagai konglomerat hitam. Sudah jelas terbukti, tidak
ada pengusaha bank di Indonesia yang jujur dan profesional,
tapi masih saja dibela mati-matian dengan cara disuntik dana
mencapai triliunan rupiah. Sementara, masyarakat yang sudah
nyata-nyata menderita karena krisis dan mengharapkan dia
hadir sebagai penolong, malah tidak dibantu. Para pengemudi
becak di Jakarta langsung digusur hanya dua minggu setelah
Megawati menjadi presiden. Wajar bila para pengemudi becak
yang sebelumnya menjadi pendukung fanatik Megawati itu kem-
udian membakar kaos dan mengembalikan kartu anggota PDIP
ke DPP PDIP, sebagai bentuk mosi tidak percaya mereka pada
pemerintahan Megawati. Selama masa Gus Dur (Oktober 1999-
22 Juli 2001), becak dibiarkan beroperasi kembali di Jakarta asal
tidak di jalan-jalan protokol. Tapi begitu Megawati mengganti-
kan Gus Dur sebagai presiden, maka becak-becak pun digusur
dari Jakarta. Sutiyoso memiliki keberanian untuk menggusur
becak-becak tersebut, karena Megawati tidak mencoba memper-
ingatkannya. Megawati melupakan pendukung setianya yang
terdiri dari orang-orang kecil.
3. Lempar Tanggung Jawab
Selain kurang peka dan tidak adil dalam mengambil kebija-
kan, hal lain yang patut dikritisi pada pemerintah adalah kecen-
derungan melempar tanggung jawab atas pelaksanaan pendidi-
kan nasional. Gejala itu sudah dimulai sejak permulaan awal
reformasi. Lemparan tanggung jawab yang pertama kali itu di-
perlihatkan melalui otonomisasi pembiayaan pada Perguruan
Tinggi Negeri (PTN) dan digerakkannya partisipasi masyarakat
melalui Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota maupun Komite
Sekolah. Kedua konsep itu kedengarannya sangat indah, karena
seolah memberikan otonomi pelaksanaan pendidikan, tetapi
dampak keduanya tidak enak dirasakan oleh masyarakat.
Otonomisasi PTN yang ditandai dengan perubahan status
menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara), misalnya, tanpa