Page 38 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 38
disadari merupakan cara halus pemerintah melemparkan tang-
gung jawab pembiayaan pendidikan di PTN kepada masyarakat
Dengan dalih otonomi, pemerintah mempersilakan kepada
masing-masing PTN untuk menggali dana sendiri dan mengem-
bangkan usaha komersial yang mampu menjadi sumber dana
bagi operasional PTN. Namun, karena keterbatasan kemampuan
dan pengalaman para pengelola PTN, maka cara yang paling
mudah menggali dana adalah dengan menaikkan SPP mahasiswa.
Cara ini ditempuh oleh semua PTN karena memang jelas sasaran
tembaknya. Dengan demikian, konsekuensi logis yang terjadi
dengan perubahan status PTN menjadi BHMN adalah naiknya
biaya kuliah bagi semua mahasiswa di PTN.
Konsekuensi lebih jauh dari kebijakan tersebut adalah biaya
pendidikan di PTN menjadi sangat mahal, sehingga peluang bagi
orang miskin untuk masuk ke PTN semakin sempit. Memang
betul, argumen yang dikemukakan oleh para pengelola PTN
bahwa mereka menerapkan konsep subsidi silang agar tetap bisa
memberikan ruang bagi kaum miskin masuk ke PTN. Tapi se-
sudahnya, berapa besar jumlah mahasiswa yang mensubsidi dan
berapa besar jumlah mahasiswa yang mendapat silangan subsi-
dinya? Yang sering muncul ke permukaan, banyak kasus calon
mahasiswa menggugurkan niatnya masuk ke PTN terkemuka
setelah dirinya dinyatakan lulus tes hanya karena tidak memiliki
cukup uang untuk membayar uang masuk yang dinilai cukup
besar (di atas Rp 1000.000)"
Konsep subsidi silang yang dikemukakan oleh para penge-
lola PTN tidak pernah jelas, sehingga sering hanya dinilai untuk
melegitimasi kebijakan-kebijakan mereka yang cenderung lebih
kuat untuk akumulasi kapital saja. Tes masuk model jalur khusus
ditempuh bukan dalam rangka untuk menjaring bibit yang ber-
bobot, tapi untuk menjaring modal yang tinggi dari calon maha-
siswa. Mahasiswa yang masuk melalui jalur khusus ini memang
diwajibkan membayar uang masuk di atas Rp 10 juta. Bahkan,
di ITB ada yang bersedia membayar uang masuk mencapai Rp