Page 69 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 69
ideologi maupun politik yang berbeda dengan penguasa.
Wacana yang dibangun para pejabat Departemen Pendidik-
an Nasional selalu mendengungkan pentingnya otonomi guru
untuk menciptakan demokratisasi dalam pendidikan. Tapi dalam
praktiknya, otonomi guru itu hanya sebuah wacana saja. Terbuk-
ti, model evaluasi untuk murid pun masih disentralisasi, dengan
alasan menciptakan standar mutu pendidikan nasional. Guru
memang diberi otonomi, tapi hanya sebatas otonomi mengajar.
Sedangkan otonomi untuk mengevaluasi hasil mengajarnya tidak
diberikan. Dengan kata lain, otonomi guru itu hanya setengah-
setengah. Mengapa? Karena bila guru diberi otonomi penuh,
terberdayakan, dan kritis, maka birokrat pendidikan akan kehi-
langan perannya. Tapi dengan menciptakan suasana yang meng-
gantung seperti sekarang, eksistensi mereka masih diperhitung-
kan, meski yang terjadi di lapangan hanyalah memperdaya ke-
beradaan guru yang tidak berdaya lagi.
Di tingkat perguruan tinggi juga sama saja. Sampai seka-
rang, masih buruk sekali proses penjenjangan karir di perguruan
tinggi negeri di Indonesia. Kriterianya tidak jelas sehingga hanya
berdasarkan l i ke dislike. Banyak dosen yang sudah doktor tapi
pangkatnya mandek di III A saja, karena yang bersangkutan
malas mengurus pangkat. Mereka berasumsi bahwa pangkat itu
hak mereka sehingga tidak diurus pun mestinya melekat pada-
nya, sejauh yang bersangkutan tidak melalaikan tugas akadamik-
nya. Tapi ada pula yang selalu naik pangkat tepat waktu, karena
yang bersangkutan rajin mengurus kenaikan pangkatnya. Kon-
disi buruk itu akibat tidak berfungsinya tenaga administrasi di
masing-masing fakultas sehingga kenaikan pangkat tidak di-
dasarkan hasil kerja mereka, melainkan usulan dari dosen yang
bersangkutan.
Mengapa tidak ada perubahan di tingkat praktik? Tidak
lain karena aktor-aktor yang memainkan peran memang tidak
berubah; masih didominasi oleh orang-orang yang dibesarkan
dan diuntungkan oleh rezim Orde Baru. Perubahan hanya terjadi