Page 75 - Pendidikan Rusak-Rusakan (Darmaningtyas)
P. 75
kawasan Pasar Kembang Malioboro, Yogyakarta. Saya diajak
oleh Ketua Yayasan tempat saya mengajar untuk bertemu orang
itu. Ternyata, di hotel itu tidak hanya kami saja yang datang
menemui BTM, tapi ada pengurus yayasan dari salah satu SMA
swasta di Kabupaten Sleman. Orang itu juga datang untuk
keperluan yang sama. Kami diajak bicara bersama oleh BTM,
yang intinya menjelaskan bahwa untuk pencairan bantuan
tersebut kami harus mempunyai rekening. Uang Rp 1.000.000
akan ditransfer ke nomor rekening, tapi mohon agar Rp 100.000
dikembalikan ke nomor rekening BTM. Kuitansi yang harus kami
tandatangani adalah Rp 1.000.000.
Bagi sekolah-sekolah swasta kecil, praktik semacam ini
merupakan suatu dilema. Di satu pihak, bila menerima permainan
seperti itu berarti melawan hati nurani karena mendukung prak-
tik korupsi dan kolusi, tapi bila menolak berarti tidak mendapat
apa-apa. Padahal, sekolah betul-betul memerlukan bantuan,
sedangkan si pejabat dengan enak berkata, "Kalau tidak setuju,
ya bisa diberikan ke sekolah lain."
Semula kami berharap praktik semacam itu akan berakhir
pada masa reformasi ini, tapi ternyata sampai sekarang masih
berjalan terus. Bantuan Rp 30.000.000,- untuk pembangunan
gedung (1999), misalnya, dipotong sampai Rp 3.000.000, atau
10%. Demikian pula pemberian dana bantuan operasional (DBO)
untuk SLTP sebesar Rp 4.000.000 dipotong 11,5%. Padahal, dalam
buku pedoman pemberian DBO tidak disebutkan adanya potong-
an. Terjadinya salah sasaran 60% dana beasiswa JPS tahun 1998/
1999 merupakan bukti lain yang tak terelakkan tentang korupnya
Departemen P dan K (sekarang Departemen Pendidikan Nasional).
Indonesian Corruption Watch (ICVV) mencurigai terjadinya
kebocoran sekitar 30% (Rp 400 milyar) dalam distribusi dan spe-
sifikasi buku-buku pelajaran untuk tingkat SD dan SLTP, yang
dilakukan dalam empat tahap sejak 1996/1997 hingga 1999/2000
(Kompas, 26/9 1998).