Page 239 - Seribu Alasan untuk Mati Hari Ini dan Kumpulan Cerpen
P. 239

Aku  bersujud  dan  mencium  kedua  kakinya.  Sambil
            menghela  napas,  aku  lalu  memeluk  kedua  kakinya
            tersebut, menahan semua luapan emosi yang bergejolak
            di diriku. Tidak! Aku tidak boleh menangis karena itu akan
            membuat dia sedih.

            “Ibu akan mengikhlaskan aku ya?”

            Dipegangnya  kepalaku  dengan  kedua  tangannya.
            Matanya  terpejam  sejenak,  bibirnya  seolah  sedang
            melafalkan  doa,  sesekali  dia  terisak,  menahan  tangis.
            Tiba-tiba  diajaknya  aku  bangkit  berdiri,  diciumnya
            keningku, lalu dipeluknya aku seerat mungkin. Dan ibuku
            menangis sekali lagi!


            Tangisannya disertai teriakan bercampur rasa sedih. Aku
            tahu  dia  sangat  kecewa,  dan  terluka.  Penjaga  di  dekat
            pintu  hanya  mengamati  kami,  sepintas  aku  juga  bisa
            melihat  matanya yang sedikit  berkaca-kaca.  Lastri yang
            ikut berdiri di luar ruangan itu, tepat di samping penjaga,
            hanya bisa menundukkan kepalanya.

            Sesekali, tanganku mengusap punggung ibuku. Sesekali,
            aku  mencium  keningnya.  Lalu  aku  memejamkan  mata,
            dan membiarkan suara tangis ibu bergema di ruang jiwaku
            serta terekam di dalam memoriku.


                                     *

            “Mas Rio,” tegur Wanda.

            Kami sedang duduk berduaan di teras balkon belakang, di
            lantai dua rumah itu. Malam yang cerah, langit berhiaskan
                                     237
   234   235   236   237   238   239   240   241   242   243   244