Page 68 - pengadaan tanah CNVRT.cdr
P. 68
Pemerintah yang bersangkutan terbatas pada mengajukan
usul/rekomendasi saja kepada Pemerintah guna menerapkan
pencabutan hak-hak atas tanah beserta benda yang diperlukan
Pemerintah atau Tindakan-tindakan lain. Tidak terdapatnya
wewenang Pemerintah (eksekutif) untuk memaksa warganya
agar melepaskan haknya itu adalah sesuai ajaran bahwa
pengaturan hak-hak privat milik orang-orang harus terjadi
berdasarkan pengaturan dalam bentuk Ordonansi (Undang-
Undang). Dengan kata lain, eksekutif/Pemerintah harus
melibatkan Legislatif/Pembentuk Undang-Undang.
Kedua, Onteigenings Ordonnantie (OO) yang termuat di da-
lam Staatsblad Nomor 574 Tahun 1920 (repository.usu.ac.id).
Mekanisme yang kedua apabila tidak terjadi kesepakatan maka
pada masa tersebut menggunakan peraturan Onteigenings
Ordonnantie (Ordonansi Pencabutan Hak Atas Tanah) yaitu
pengambilan hak atas benda (tanah) secara ‘paksa’ oleh
pemerintah.
Pencabutan hak atas tanah dengan menggunakan
perangkat hukum Onteigenings Ordonnantie (OO) yang termuat
di dalam Staatsblad Nomor 574 Tahun 1920, jo. Stb. Nomor
96 Tahun 1947 dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu 1)
pencabutan hak dalam keadaan biasa; dan 2) pencabutan
hak dalam keadaan darurat. Prosedur pencabutan hak atas
tanah dalam keadaan biasa dilakukan bilamana Pemerintah
memerlukan pencabutan hak guna melaksanakan suatu
pekerjaan, maka departemen yang bersangkutan mengajukan
usul disertai penjelasan kepada Gubernur Jenderal untuk
menyatakan bahwa pekerjaan yang akan dilaksanakan
memerlukan suatu tindakan pencabutan hak guna kepentingan
umum. Benda-benda yang kemungkinan besar akan terkena
Perkembangan Pengadaan Tanah di Indonesia 39