Page 146 - Kumpulan CerPen-by Suci Harjono
P. 146
uang .Tolong bilang sama bu Guru ya, kalau bapak pasti akan membayar.
Sudah sekarang Wanti main sana ya,bapak mau mandi”Mata bulat Wanti
seperti biasanya akan bersorak dengan penuh harapan mendengar janji
Surip. Perlahan Wanti turun dari pangkuan Surip dan berlari keluar
rumah.
Surip termangu dan menarik napas panjang. Tak tega hatinya
untuk selalu memberikan harapan ke Wanti.Tetapi dia tidak punya pilihan
lain. Anak sekecil Wanti belum bisa merasakan kondisi yang sebenarnya
dari orangtuanya. Dari belakang, Marni istri Surip kelihatan kelelahan ,
berjalan menghampiri Surip kemudian duduk di kursi sebelah rotan yang
sebagian besar anyaman rotannya mulai terlepas. Surip merasa tidak
tega dan trenyuh melihat istrinya. Meski kelihatan serba kekurangan
,Marni jarang sekali mengeluh kepada Surip. Bahkan untuk kebutuhan
sehari-hari ,tenaga Marni sebagai buruh cuci baju yang saat ini selalu
diandalkan. Surip merasa malu sekali dan merasa gagal sebagai seorang
suami yang mestinya bisa membuat istrinya senang dan tidak membuat
susah.
“Capek pak? Gimana dagangan bapak hari ini?” tanya Marni,
tetapi matanya segera melihat gerobag dagangan Surip yang ada di
depan pintu. Surip tahu, Marni tidak butuh jawaban karena sudah
melihat isi gerobag masih setengah lebih.
“Maaf Bu, bapak tidak bisa memberi uang untuk beli beras. Uang
hasil jualan hari ini untuk beli modal besok saja tidak cukup. “ jawab
Surip parau.
Marni tersenyum mendengar jawaban Surip. Mungkin Marni
sudah hapal karena sudah ratusan kali jawaban seperti itu keluar dari
mulut suaminya.
“Pak, ibu binggung. Selain belum membayar tunggakan sekolah
Wanti, tadi pak Agus datang lagi ke sini. Hari ini dia marah besar, dan
memberi waktu kita untuk membayar kontrakan paling lambat besok
minggu. Kalau kita tidak bisa bayar, kontrakan ini akan di berikan ke
orang lain.”
146 Suatu Malam di Sebuah Jalan_ Suci Harjono_sucihan03@gmail.com

