Page 19 - E-Modul Perjuangan Integrasi Timor-Timur 1975-Rekonsiliasi
P. 19

15




                                                            BAB 3

               Referendum Timor-Timur 1999
                     Selama ber Integrasi dengan Indonesia, ABRI (TNI) selain berperan dalam bidang keamanan juga
               berperan  mengatur  langsung  perekonomian  serta  terlibat  dalam  pemerintahan.  Itulah  konsep  Dwi
               Fungsi ABRI sejak 1969 yang membuka ruang gerak keterlibatan militer dalam politik dan bisnis di
               Indonesia. Partisipasi militer dalam politik terkait implementasi konsep Dwi Fungsi ABRI terwujud
               dalam  peran  perwira  militer  yang  dikaryakan  di  posisi-posisi  strategis  seperti  DPR  dan  Pemda
               (gubernur dan bupati) di hampir seluruh wilayah Indonesia (Pinto, 2015).
                     Selama era Integrasi dengan Indonesia, banyak perwira TNI yang dikaryakan mendapat posisi
               penting  di  Timor-Timur.  Posisi  wakil  gubernur  adalah  jatah  permanen  ABRI,  sebagaimana  dicatat
               Parwoto: Dalam menghadapi dinamika kemasyarakatan dan permasalahannya, kepemimpinan militer
               (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia-ABRI) di Timor-Timur dari satu kurun waktu tertentu ke
               kurun  waktu  yang  lain  tidak  mengalami  perubahan  yang  berarti,  yakni  tetap  menerapkan  pola
               kepemimpinan  yang  otoriter.  Pada  periode  1976  sampai  dengan  tahun  1988,  pola  kepemimpinan
               otoriter lebih di tunjukkan dalam kegiatan politik (Pinto, 2015).

                     Hal ini disebabkan oleh ambisi ABRI untuk secepatnya melumpuhkan kekuatan sisa-sisa Fretilin
               GPK  (Gerakan  Pengacau  Keamanan).  Pola  yang  militeristik-otoriter  ini  berimplikasi  luas  terhadap
               masyarakat, banyak korban rakyat Timor-Timur berjatuhan yang diduga bagian dari Fretilin. Dalam
               kepemimpinan  yang  otoriter,  pihak  militer  juga  menggunakan  kesempatan  untuk  meningkatkan
               kepentingan ekonominya (Pinto, 2015).

                     Selain itu, posisi strategis politis juga selalu dikendalikan oleh militer. Artinya, militer hampir
               selalu dilibatkan untuk menentukan seseorang menduduki posisi strategis dalam pemerintahan seperti
               gubernur,  bupati,  camat,  dan  kepala  bagian  di  tata  pemerintahan  daerah.  Walaupun  militer  selalu
               mendengung-dengungkan  pentingnya  kerjasama  tiga  pilar  dalam  pemerintahan  daerah,  yakni
               pemerintah  daerah  (gubernur/bupati),  militer  (korem/kodim),  dan  Gereja  (uskup),  tetap  saja
               kepentingan militer nyaris selalu berada di posisi teratas. Dalam bingkai kepemimpinan yang otoriter
               militeristik, semua kebijakan kerap berorientasi pada kepentingan militer. Intinya, selama ber Integrasi
               dengan Indonesia, kekuatan militer memegang kendali penting dan nyaris absolut dalam bidang politik,
               sosial, ekonomi, dan sebagainya (Pinto, 2015).

                     Setelah 24 tahun ber Integrasi gejolak politik di Timor-Timur semakin tidak stabil, ditambah lagi
               Kejatuhan Presiden Soeharto dari kekuasaannya, buah reformasi 1998 membuat Dwifungsi ABRI di
               kritik  masyarakat  luas  Indonesia  dan  akhirnya  dihapuskan,  tak  hanya  menyibak  tirai  reformasi  di
               Indonesia,  tapi  sekaligus  pula  membuka  babak  baru  perjalanan  sejarah  Timor-Timur.  Bacharuddin
               Jusuf  Habibie  sebagai  Presiden  RI  menggantikan  Soeharto  memunculkan  arah  perubahan  bagi
               masyarakat Timor-Timur (Pinto, 2015).

                     Masyarakat  Timor-Timur  mengalami  perubahan  besar  sejak  berintegrasi  dengan  Indonesia.
               Namun, Indonesia harus menerima kenyataan masih adanya usaha mempersoalkan status Timor-Timur
               di dalam maupun di luar negeri. Sikap pemerintah Portugal yang terus menekan Indonesia di forum
               internasional, maupun campur tangan asing lainnya semakin menyudutkan Indonesia (Eugenio do C.
               de Jesus, 1996).

                     Hingga akhirnya presiden Habibie menggulir dua opsi (otonomi atau merdeka) pada akhir Januari
               1999 hanya selang beberapa saat setelah ia menerima surat dari PM Australia John Howard; pada 5
   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23   24