Page 72 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 72
ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU
datu atau pajung. Seorang raja Luwu berasal dari keturunan arumatasa’ atau dari
golongan darah bangsawan tinggi yang masih murni dan lahir dari keturunan
asli raja (wijatomanurung). Pemilihan raja dilakukan oleh Dewan Adat yang
dihormati sebagai manusia keturunan pilihan dari langit. Jabatan penguasa Luwu
bersifat turun-temurun baik melalui garis bapak maupun garis ibu. Seorang raja
perempuan akan dipilih dalam keadaan yang luar biasa. Seorang yang diangkat
sebagai raja menggunakan gelar datu; apabila telah dilantik menggunakan
gelar pajung. Adapun anggota Dewan Adat di kerajaan disebut dengan gelar
opu, maqdika, mencara, dan makole. Kepala-kepala distrik yang menempati
posisi penting memakai gelar datu, makole, maqdika, mencara, palempang, dan
aru. Kepala kampung dengan gelar matowa, sariang, dan pembawa berita atau
utusan dinamai suro. Kepala-kepala orang Toraja dinamai maqdika dan tomakaka.
Syhabandar sama seperti di mana-mana disebut sabandara dan pembantu (kaki
tangan) dinamai mata-mata (Hafid dalam Sumantri [ed.] 2006: 215).
Masyarakat di Kedatuan Luwu terbagi atas tiga kategori yaitu, pertama,
kelas bangsawan yang terdiri dari raja dan semua anggota keluarga kerajaan,
para pembesar, putra-putri bangsawan dan pemuka negeri yang ternama.
Kedua adalah kelas menengah yang terdiri dari kepala-kepala bawahan, kepala
kampung, orang baik-baik dan penduduk merdeka. Sementara yang berada pada
urutan terbawah adalah golongan hamba.
Sama halnya dengan orang Makassar, para bangsawan Luwu pada umumnya
menggunakan gelar daeng. Sementara mereka yang berasal dari kalangan
orang baik-baik, orang kaya menggunakan penyebutan uwaqna atau ‘bapak
dari’ atau indoq na yang bermakna ‘ibu dari’, dan sering pula dinyatakan dengan
istilah daeng na atau ‘daeng dari’. Makna ‘daeng’ pada kelompok kedua ini lebih
bermakna pada ‘kerabat dari’. Contohnya seperti jika seseorang memiliki nama
anak bernama Amir, maka ayahnya akan dipanggil dengan sebutan uwaqna
Borahima atau bapaknya si Ibrahim. Adapun orang-orang rendahan atau bawahan
selalu menyapa orang di atasnya atau pimpinannya dengan sebutan puang yang
bermakna ‘raja’, ‘sahib’, atau ‘tuan’. Hal itu juga berlaku kepada panggilan dari
orang yang berusia lebih muda kepada yang lebih tua (Hafid dalam Sumantri
[ed.] 2006: 206).
56