Page 67 - Maluku dan Luwu CMYK.indd
P. 67
ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI KAWASAN INDONESIA TIMUR: MALUKU DAN LUWU
menanyakan tentang wanita yang berada dalam istana Gowa maka jika sederajat
haruslah dinikahkan, namun apabila tidak setaraf akan dihukum berat. Siasat
Madika Marinding berhasil sehingga pesta riwinru diperpanjang beberapa hari
karena Datu Luwu dinikahkan dengan adik raja Gowa tersebut. Putri itu kemudian
diberi gelar Karaeng ri Balla Bugisika atau ‘Yang Dituankan di Istana Orang
Bugis’. Ketika Datu Luwu kembali ke istananya di Malangke, pasangan pengantin
tersebut disambut dengan pesta yang meriah. Perkawinan itu menyatukan
Kedatuan Luwu dengan Gowa dan berhasil menghindarkan Kedatuan Luwu dari
upaya penaklukan oleh Kerajaan Gowa. Atas jasanya, jabatan Madika Marinding
hanya boleh dijabat oleh keturunan dari Somme yang terus berlaku hingga
Swapraja Luwu ditiadakan setelah kemerdekaan Republik Indonesia (Mattata
1967: 75–7).
Adapun Kedatuan Luwu pada sekitar awal abad ke-17 merupakan kerajaan
yang makmur dan kuat yang berpusat di Patimang-Malangke. Berdasarkan kajian
arkeologi, wilayah tersebut memiliki pola permukiman yang luas dibanding wilayah
Luwu yang lain. Pusat istana di Patimang-Malangke memperlihatkan kemegahan
yang menyerupai istana Gowa di Somba Opu antara akhir abad ke-16 dan awal
abad ke-17 (Bulbeck, Prasetyo dan Sumantri dalam Sumantri [ed.] 2006: 36–7).
3.3 Keadaan Geografi Kedatuan Luwu
Kerajaan Luwu, dalam catatan sejarah sering juga disebut Luhu atau Lu,
memiliki batas wilayah asli yang sangat luas dibanding wilayah kerajaan yang
lain di Sulawesi Selatan. Wilayah asli yang dimaksud adalah yang menjadi bagian
utama dari kebudayaan Luwu. Dalam catatan Van Braam Morris yang menjadi
Gubernur Celebes pada 1888 disebutkan bahwa Luwu berbatasan dengan
Pitumpanua yang merupakan bagian dari Kerajaan Bone, Wajo, dan Poleang.
Dalam tulisan ini catatan van Braam Morris akan digunakan untuk memberikan
gambaran mengenai keadaan negeri Luwu disertai beberapa catatan dari penulis
(Hafid dalam Sumantri [ed.] 2006: 190–233).
51