Page 120 - SEJARAH SOSIAL DAERAH KOTA BENGKULU
P. 120

ganti  aturan  adat  yang  tak  tertulis.  Undang-Undang  ini  tidak
        jauh berbeda dengan ciptaan Van  den  Bosch tahun 1854 untuk
        wilayah  Palembang.  Ia juga ingin  mengintensifkan  pe~aksanaan
        pemungutan pajak kepala bagi setiap lelaki  berusia 18 tahun ke
        atas dan sistem  gotong royong "gawe raja" yakni sistem gotong
        royong  perbaikan dan  pembangunan jalan, siring dan jembatan
        serta  gotong  royong  antar-jemput  barang-barang  dan  pejabat
        gubernemen  Belanda.  Untuk  mudahnya  sistem  perkulian  ini
        dibagi  atas  3  bagian  yakni  :  kuli staa  (kuli  pembuatan jalan
        umum  dimana saja),  kuli  marga  (kuli  pembuatan jalan marga),
        dan  kuli  anak  ayam  (kuli  bagi  penduduk berusia  45  tahun ke
        atas).
           Sistem  ini  berlanjut  terus  oleh  penguasa  pemerintah  se-
        lanjutnya  dan  sangat  mengurangi  kebebasan  rakyat  seta  me-
        nekan kehidupan  ekonomi dan sosial budaya daerah. Karena itu
        tidak jarang dalam  fase-fase  seperti ini tampil pemimpin bangsa
        yang  mau  berkorban  demi  menegakkan  keadilan,  kebenaran
        serta  perikemanusiaan.  Tahun  1873  tersebutlah  nama  Burniat
        sebagai pejuang bangsa. Asisten Residen Belanda Humme (1871-
        1873)  mengecap  tokoh  Burniat  sebagai  pemberontak  ulung,
        namun  bagi  rakyat  Bengkulu  ia  adalah  seorang  pahlawan.
        Burniat  salah  seorang  pemuda  Desa  Tanjung  Terdana bersama
        kawan-kawannya pada tanggal  11  Mei  1873  menyerang gedung
        Keresidenan  Bengkulu  sebagai  menampakkan  gigihnya  putra
        daerah yang ingin bebas dari penjajahan.
           Undang-undang  Simbur  Cahaya  tetap  diperlakukan  atas  9
        onder afdeeling  yaitu  : Bengkulu,  Seluma,  Manna,  Kaur,  Kroi,
        Lais,  Muko-muko, Rejang dan Lebong sekitarnya. Ketiga asisten
        residen  Belanda tersebut  di  atas sekalipun mendapat  tantangan
        berat  dari  rakyat  namun  tidak  sampai  terbunuh.  Lain  halnya
        dengan  Asisten  Residen  H C  Van Amstel,  yang pada tanggal  2
        September  18 73  terpaksa  menerima  nasibnya  dibunuh  oleh
        raky'!t Desa Bintunan di Kabupaten Bengkulu Utara.
            Sekalipun  sistem  pemerintah  jajahan  ini  tidak  baik karena
        tidak  memberi  keleluasaan  dan kebebasan serta kemajuan bagi

                                                                 111
   115   116   117   118   119   120   121   122   123   124   125