Page 74 - SEJARAH KEBUDAYAAAN MALUKU
P. 74
tradisi penulisan sejarah pesisiran yang mekar di zaman Kurun
Niaga terse but di atas. Dalam hal gaya dan isinyajelas nampak
bahwa Naidah berupaya keras untuk mengikuti pola yang telah
lazim itu. Namun bahasa yang digunakan adalah bahasa
Ternate, walau diberi terjemahan bahasa Melayunya. Dualisme
ini nampaknya merupakan pola utama dalam kedaton Ternate
sejak masa voe, bahkan mungkin juga sebelum itu. Budaya
lokal mengikat kedaton dan warganya, tetapi budaya pesisiran
mengikat seluruh wilayah kerajaan dengan wilayah-wilayah
lainnya di Nusantara. Budaya lokal mewujudkan Maluku Kie
Raha, sedangkan budaya pesisiran mengikat Maluku Kie Raha
dengan bagian-bagian lainnya dari dunia sekitarnya. Dalam
abad ke-19 kedua unsur itu nampaknya, telah memadu secara
serasi dan menjadi ciri khas dari budaya kedaton, paling kurang
·di Ternate.
3.5 Maluku Kie Jlaha
Perpaduan antara unsur-unsur budaya lokal dan budaya
pesisiran yang datang dari luar melalui perdagangan itu
nampak sangat jelas dalam budaya politik kedaton-kedaton di
Maluku Utara, terutama di Ternate.
Budaya politik di Maluku Kie Raha paling jelas terekam
dalam mitos-mitos tentang asal-usul raja-raja Maluku yang
dipertahankan pihak-pihak kedaton. Tetapi selain itu, dalam
kehidupan sehari-hari terdapat pandangan hidup serupa
sehingga mewujudkan suatu masyarakat Maluku Kie Raha yang
terintegrasi.
Sebagai mitos mengenai asal-usul keempat raja di Maluku
Utara mitos itu bisa disebut sebagai Maluku Kie Raha, atau
Maluku empat gunung yang menunjukkan keempat kerajaan
itu (Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo). Salah satu versi dari
mitos itu yang berasal dari abad ke-17 menceritakan mengenai
seorang yang menemukan empat buah telur naga di bawah
serumpun bambu. Lalu terdengar suara bahwa orang itu harus
rnernelihara telur-telur itu dengan baik hingga rnenetas. Ketika
menetas rnaka muncullah empat pria yang gagah yang
58