Page 73 - SEJARAH KEBUDAYAAAN MALUKU
P. 73

3.4  Bahasa Melayu
                Seperti  dikemukakan  di  atas,  selain  bahasa-bahasa
            yang tergolong  rumpun bahasa  Non-Austronesia,  di  Maluku
            Utara  terdapat  pula  penutur  bahasa Austronesia  (Malayo-
            Polinesia). Para penutur bahasa ini justru terdapat di wilayah-
            wilayah  yang  bukan  menjadi  inti  kerajaan-kerajaan  besar
            (Temate  dan  Tidore),  seperti  kepulauan  Banggai,  kepulauan
            Sula, pulau Bacan, Halmahera Timur dan Halmahera Selatan,
            dan pulau Gebe.

                Namun suatu hal yang menarik pula bahwa bahasa Melayu
            juga digunakan di kedaton-kedaton untuk berinteraksi dengan
            dunia  luar.  voe jelas  menggunakan  bahasa  ini  dalam
            berkomunikasi dengan para sultan, seperti yang bisa dibuktikan
            dalam dokumen-dokumennya yang masih tersimpan  di  Arsip
            Nasional  R.I.  Jakarta.  Biasanya  korespondensi  antara
            pihak kedaton dan pihak VOC dilakukan dalam bahasa Melayu
            serta aksara Arab  Gundul  atau Jawi.  Untuk menerjemahkan
            surat-surat  itu,  atau  untuk  menulis  surat  balasan  voe
            mempekerjakan  sejumlah  translatuer  (penerjemah)  yang
            biasanya  berasal  dari  kaum  pedagang  asing  yang  telah
            bermukim  lama  atau  bergenerasi  di  Ternate.  Dapat
            diperkirakan  bahwa dalam  komunikasi  lisan  pun  digunakan
            bahasa Melayu.

               Keadaan ini jelas menunjukkan betapa pentingnya budaya
            pedagang tersebut di  atas dalam kedaton-kedaton di  Maluku
            Utara. Tetapi di antara kedaton-kedaton itu, Temate-lah yang
            paling  banyak  menerima  unsur-unsur  tersebut.  Dalam
           mengkisahkan  kerajaan-kerajaan  di  Maluku  Utara,  Valentijn
           menemukan kenyataan bahwa sastra pesisir yang berasal dari
           kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Nusantara juga terdapat di
           Temate.  (Valentijn, Jilid I,  bagian A,  1734).
               Namun kenyataan bahwa bahasa lokal  (Non-Austronesia)
           samasekali  tidak  terdesak  dibuktikan  dalam  sebuah  kitab
           sejarah yang ditulis oleh Naidah (orang Temate) di abad ke-19.
           (Van der Crab, 1878).  Hikayat Ternate terse but jelas mengikuti


                                           57
   68   69   70   71   72   73   74   75   76   77   78