Page 175 - ETPEM2016
P. 175
ketiga sub kultur tersebut relatif seimbang, yaitu jika terjadi
kelancaran proses kontrol SKK terhadap SKE, SKS terhadap SKK, dan
proses pelayanan civil kepada manusia serta proses pelayanan
publik kepada masyarakat, sehingga manusia merasa terlindungi
dan kebutuhan dasarnya terpenuhi, serta kesejahteraan sosial
tercapai.
Dalam kaitannya dengan penumbuhan pengharapan dalam
dada masyarakat yang tak berdaya, kegiatan strategis yang perlu
dilakukan adalah ‘pemberdayaan (empowering)’ dengan cara
membangun bargaining power SKS/SKP terhadap SKK dan SKE.
Subkultur Sosial (SKS) atau Subkultur Pelanggan (SKP) berhak
memperoleh informasi tentang perilaku SKK dan SKE, agar ia
berfungsi dengan baik. Selama ini SKS/SKP masih memiliki
kelemahan struktural dan fungsional. Kelemahan akses SKS/SKP ke
SKK tidak mampu mengkomunikasikan dan memperjuangkan
aspirasinya, dan kelemahan akses SKS/SKP ke SKE, tidak mampu
memanfaatkan produk-produk pemerintahan dengan baik,
sehingga SKS/SKP mempunyai kelemahan fungsional, yakni kontrol
terhadap SKK tidak efektif. SKS/SKP selaku pelanggan tidak mampu
menjadi konsumer melainkan hanya menjadi korban/mangsa.
Sehubungan dengan itu, pembuatan kebijakan publik perlu
disesuaikan dengan mekanisme governance (mekanisme kontrol
antar sub kultur) tadi. Setiap kebijakan mengandung ketentuan
tentang hak dan kewajiban, wewenang dan tanggungjawab
masing-masing subkultur. Pertimbangan kebijakan bukan saja
menyangkut hal-hal yang diwajibkan kepada pelanggan tetapi juga
yang diwajibkan terhadap aparatur pemerintah yang mengelola
159