Page 96 - ETPEM2016
P. 96
menyangkut hubungannya dengan pribadi-pribadi lain dalam suatu
sistem sosial. Itulah sebabnya di dunia ini kebenaran selalu bersifat
relatif. Kebenaran insani lebih sering merupakan hasil kesepakatan
antar manusia.
Al Gozali (1058-1111 M), seorang muslim pemikir etika, telah
membangun etika religius melalui metode tasawwuf (metode
penyucian diri sehingga mendapat bimbingan langsung dari
Tuhan). Ia menentang pendapat filsof yang bergelut dengan teologi
dan metafisika dalam merumuskan etika seperti yang dilakukan
Aristoteles dan filsof muslim yang lain seperti Al-Farabi dan Ibnu
Sina. Ia berpendapat bahwa etika yang dihasilkan daya nalar murni
(rasio bebas) hanya akan menghasilkan relativitas nilai. Nilai-nilai
absolut hanya didapat dari agama (perintah dan larangan Tuhan)
dan itulah yang seharusnya dijadikan fondasi nilai-nilai etik.
Agama mengandung banyak nilai dan norma etik yang
apabila diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dapat bernilai
ibadah. Nilai dan norma etik dari agama ditujukan kepada semua
orang yang mengimaninya yang bekerja di lapangan apapun
termasuk di lapangan pemerintahan (dalam arti luas) tanpa
mempersoalkan statusnya apakah pegawai negeri atau bukan,
birokrat (pejabat yang ditunjuk) atau nonbirokrat (pejabat yang
dipilih), pejabat negara atau bukan, yang bekerja di pusat atau di
daerah.
Agama selayaknya ditempatkan sebagai sumber etika
pemerintahan di Indonesia dalam derajat yang paling atas, karena
menurut Djadja Saefullah (2006:172) bangsa dan masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat religius. Para pejabat publik
adalah bagian dari bangsa Indonesia dan anggota masyarakat
80