Page 32 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 32
akhir minggu, dengan jadwal sama seperti malam ini, menonton
pertarungan. Itu di luar latihan setiap hari buat siapa saja yang
mau datang. Lumayanlah untuk mengusir penat setelah pulang
kerja, apalagi jika itu jadwal pertarunganmu, itu sungguh
refreshing yang hebat, Sobat.”
Aku mengangguk, bersepakat—dulu aku masih sering sepen-
dapat dengan Randy. Melihat dua petarung saling pukul, meng-
hindar, darah menetes dari luka di pelipis secara live sudah
membakar seluruh penat, apalagi bertarung langsung, itu me-
micu adrenalin berkali-kali lipat.
”Tidak ada yang peduli latar belakangmu siapa, Thom. Itu
aturan main klub,” Theo berbisik. Kami sudah berdiri di pinggir
lingkaran merah, bergabung dengan wajah-wajah penonton yang
berteriak sampai serak menyemangati. ”Randy bekerja di kantor
imigrasi. Kudengar dia baru mendapat promosi minggu lalu, jadi
kepala imigrasi bandara. Erik, kau lihat di sana, dia manajer
senior di bank besar.”
Aku mengumpat dalam hati. Tentu saja aku kenal Erik. Baru
tadi pagi kami rapat bersama, bertengkar tentang ruang lingkup
jasa konsultansi yang dibutuhkan corporate bank mereka.
”Rudi, nah, yang sedang sangar bertarung adalah petugas
penyidik di kepolisian atau komisi apalah, aku tidak tahu persis,
tidak ada yang peduli. Di sini ada eksekutif muda, karyawan,
dokter, pesohor, penulis, orang-orang pemerintah, pengusaha. Itu
yang berdiri di pojok bersama teman-temannya adalah anak
salah satu petinggi partai. Di sini berkumpul orang-orang yang
menyukai tinju. Di luar itu, pekerjaan, latar belakang, siapa kau,
lupakan. Meski sebenarnya hampir seluruh anggota klub tahu
satu sama lain.”
30
Isi-Negeri Bedebah.indd 30 7/5/2012 9:51:07 AM