Page 33 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 33
Aku masih sibuk menyapu wajah-wajah seluruh ruangan.
”Dulu kami hanya amatiran. Ada enam orang pencetus ide.
Kami bertanding tanpa jadwal. Anggota klub yang mau ber-
tarung tinggal menuju lingkaran merah, menantang siapa saja
yang habis dimarahi bos, atau kesal dengan bawahan, atau
mobil mewahnya habis tersenggol. Meski amatiran, selalu seru,
satu-dua pulang dengan wajah lebam, mereka terpaksa ber-
bohong pada istri masing-masing, bilang terjatuhlah.” Theo
tertawa. ”Semakin ke sini, kami membayar pelatih profesional,
membuat jadwal, melengkapi ruang ganti, bartender, dan se-
luruh keperluan seperti sasana tinju. Dan anggota klub ber-
tambah dengan caranya sendiri, hanya boleh mengajak orang
yang paling dipercaya serta direkomendasikan anggota lama.
Kupikir sekarang anggota klub sekitar tiga puluh orang. Cu-
kup banyak untuk membuatmu menunggu dua bulan hingga
jadwal bertarungmu tiba. Tapi itu bukan masalah. Lebih ba-
nyak yang menjadi anggota klub hanya untuk menonton per-
tarungan, bertaruh, dan bersenang-senang. Atau sekadar men-
cari tempat memukuli samsak, latihan.”
Ruangan klub dipenuhi tepuk tangan, seruan-seruan salut.
Kemeja dan dasi penonton kusut karena kesenangan. Di tengah
lingkaran merah, Rudi baru saja membuat lawannya tersungkur.
Aku menelan ludah. Theo ikut bertepuk tangan, berbisik, ”Dia
petarung nomor satu di klub. Jangan coba-coba menantang-
nya.”
Wajah sangar Rudi sepanjang pertarungan terlipat. Dia sudah
membantu lawannya berdiri, tertawa dengan lawannya, saling
peluk. ”Satu-dua pertarungan bisa sangat emosional, Thom. Te-
tapi ini adalah klub dengan respek di atas segalanya. Kita hanya
31
Isi-Negeri Bedebah.indd 31 7/5/2012 9:51:07 AM