Page 338 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 338
jalan keluar yang dipilih Rudi, apakah aku respek padanya ka-
rena ternyata jelas aku bisa memercayakan nasibku pada Rudi,
atau apakah aku sedang jengkel dengan betapa naifnya Rudi.
Lihat, sehebat apa pun strategi dia, ruang tunggu sudah kosong,
final call pesawat menuju Bali sudah sejak tadi. Semua rencana
bergayanya sia-sia jika aku ditinggal pesawat.
Rudi tertawa, melambaikan tangan. ”Tenang, Thomas. Kau
lupa, kau penumpang spesialnya. Pesawat itu tidak akan bergerak
satu senti pun sebelum kau naik. Ikuti aku, Kawan. Mari kita
menuju Bali.”
Itulah yang terjadi tiga menit berikutnya.
Rudi bicara dengan petugas ground handling, menunjukku.
Mereka mengangguk, sudah terbiasa dengan perjalanan istimewa
seperti ini. Kami menuruni tangga, ke landasan. Rudi benar, pe-
sawat itu masih gagah di posisinya. Pintu belakangnya terbuka
dengan sebuah anak tangga terpasang, seperti menunggu sese-
orang. Rudi memperlihatkan surat pemindahan kepada dua
petugas dan dua pramugari yang juga ikut briefing. Mereka meng-
angguk, mempersilakan kami naik.
Kursi paling belakang selalu dikosongkan dalam situasi seperti
ini. Bahkan dalam kasus amat mendesak, penumpang sipil bisa
dibatalkan. Rudi menyuruhku duduk dekat jendela. ”Bukan
karena ada pemandangannya. Itu prosedur, Kawan,” Rudi ber-
bisik, mengedipkan mata.
Aku tidak berkomentar, duduk rapi.
Pintu pesawat ditutup. Pramugari kembali di posisinya
masing-masing, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Pilot menyeru-
kan persiapan take off. Badan pesawat akhirnya beringsut menuju
landasan pacu. Tidak ada satu pun penumpang yang curiga, ke-
336
Isi-Negeri Bedebah.indd 336 7/5/2012 9:51:13 AM