Page 356 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 356
Opa diam sejenak, menghela napas. Aku menunggu tidak
sabaran.
”Saat perang saudara semakin berlarut-larut, silih berganti
pihak berkuasa mengirimkan pasukan untuk menguasai satu
sama lain, meski penduduk berkali-kali mengadukan kegilaan
Mata Picak, tidak ada penguasa pasukan yang berani menyentuh
Mata Picak. Komandannya telanjur takut, prajuritnya apalagi.
Pernah ada pasukan yang menyerbu rumah Mata Picak, karena
tersinggung salah satu prajurit mereka diteluh, tapi sia-sia.
Kesaktian Mata Picak tidak bisa dilawan dengan tombak atau
pedang. Seluruh prajurit yang menyerbu rumah Mata Picak mati
dengan kulit melepuh, bau sangit mengambang di jalanan kam-
pung berjam-jam, bahkan walau sudah memakai penutup mulut,
tetap tercium. Dan lebih sadis lagi balasan Mata Picak pada
penduduk yang melaporkannya ke kota, mereka diteluh sekeluar-
ga, sekujur tubuh dipenuhi bisul bernanah, meletus busuk hing-
ga penderitanya mati.
”Bertahun-tahun penduduk terkungkung rasa takut. Serba-
salah, tidak berani melawan. Mereka tidak bisa pindah dari
kampung. Mata Picak mengancam akan meneluh siapa saja yang
menghindarinya, coba-coba pergi dari kampung. Termasuk para
pendatang yang tidak tahu-menahu, terperangkap dalam aturan
main Mata Picak. Dialah penguasa mutlak di sana. Semua orang
harus tunduk padanya, atau bersiap menerima kunjungan, ber-
siap menatap wajahnya dengan satu bola mata hilang, menyisa-
kan cekungan dalam mengerikan. Mata Picak menjadi bayangan
hitam yang menyelimuti kampung. Gelap.
”Hingga suatu hari, hujan deras turun tanpa henti, Sungai
Kuning meluap, banjir besar kembali merendam dataran luas
354
Isi-Negeri Bedebah.indd 354 7/5/2012 9:51:14 AM