Page 352 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 352
Gerimis terus membungkus waduk, kaca jendela terlihat buram
berembun.
”Namanya Mata Picak, usianya tidak ada yang tahu, boleh
jadi baru empat puluh, tapi perawakan dan wajahnya terlihat
lebih tua dari itu. Tubuhnya kurus tinggi, seolah sedikit sekali
daging di tubuhnya. Jika dia hanya mengenakan pakaian tipis,
terlihat menyeramkan saat berjalan di jalanan kampung, seperti
ada kerangka manusia lewat. Kenapa dia dipanggil Mata Picak?
Karena matanya rusak parah sebelah. Bola matanya busuk, lan-
tas terlepas, menyisakan cekung kosong, dan dia sama sekali ti-
dak merasa perlu menutupinya dengan kain, serbet, atau apalah.
Sedangkan satu mata lagi, meski bisa dipergunakan, hampir selu-
ruhnya putih, tanpa bagian berwarna hitam. Bola mata putih
yang terus begerak-gerak menyelidik ke segala arah.”
Opa menghela napas pelan, memulai cerita.
Aku menelan ludah. Cerita seperti ini selalu saja lebih seram
karena imajinasi pendengarnya.
”Mata Picak awalnya sama dengan penduduk lain. Dia petani
di dataran subur Cina. Hidup berkecukupan dan bertetangga
baik, meski banyak anak kecil takut melihatnya, segera berlarian
masuk rumah saat dia melintas. Atau orang dewasa berbisik-
bisik membicarakannya, berusaha mencari tahu kapan matanya
busuk sebelah. Atau bagi sekelompok yang lebih berani, meng-
olok-olok tertawa, berjalan di belakangnya, meniru memasang
wajah dengan bola mata rusak satu. Tetapi di luar itu, Mata
Picak bagian dari penduduk kampung, tidak lebih, seperti te-
tangga sebelah rumah.” Opa diam sejenak, mendongak menatap
gerimis.
”Hingga masa-masa sulit tiba. Situasi politik di ibu kota mu-
350
Isi-Negeri Bedebah.indd 350 7/5/2012 9:51:14 AM