Page 353 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 353
lai rumit, perebutan kekuasaan. Perang saudara meletus di selu-
ruh Cina, ditambah lagi Sungai Kuning meluap. Banjir besar
berhari-hari membumihanguskan puluhan ribu hektar tanaman,
gagal panen di daratan Cina. Semua orang kesulitan bertahan
hidup, termasuk di kampung kami. Dan sejak itulah, di tengah
banyak kesulitan, ingar-bingar keributan, perang, Mata Picak
mendadak berubah haluan.
”Awalnya dia hanya mengaku dukun biasa. Kau kehilangan
terompah misalnya, atau dompet tempat uang, liontin, benda
berharga, maka Mata Picak komat-kamit membaca mantra. Bola
matanya yang putih berputar-putar. Ludahnya muncrat. Be-
berapa kejap, dia berbisik memberitahukan di mana barang hi-
lang tersebut. Beres, barang ditemukan. Atau lain waktu kau
datang karena sakit demam, punya penyakit menahun dan tidak
sembuh-sembuh, atau kesulitan tidur, merasa gelisah, cemas atas
banyak hal, Mata Picak menggeram panjang di atas tikar pan-
dan. Tubuh tinggi kurusnya bergetar. Dia mengepalkan tangan,
keringat menetes deras di antara asap dupa, sejurus kemudian
Mata Picak membuka kepalan tangannya. Entah dari mana da-
tangnya, Mata Picak menyerahkan jimat untuk dipakai. Man-
jur.
”Penduduk kampung tidak pernah tahu dari mana Mata
Picak memperoleh banyak pengetahuan seperti itu. Dia tidak
pernah punya guru, tidak berpendidikan, dan tidak terlihat
pintar membaca apalagi menulis. Yang penduduk tahu, semakin
hari, ritual dukun Mata Picak semakin menakutkan. Di sudut-
sudut hutan gelap dekat lubuk sungai, di kuburan tua yang ber-
tahun-tahun tidak terawat, di kelenteng yang hampir roboh, di
mana saja tempat yang justru dijauhi penduduk, Mata Picak
351
Isi-Negeri Bedebah.indd 351 7/5/2012 9:51:14 AM