Page 361 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 361
”’Asyik, bukan? Asyik sekali jadi bisu, bukan?’ Mata Picak ter-
tawa. ’Ayo menangis lagi kalau bisa.’
”Centeng Mata Picak semakin tergelak, satu-dua memukul-
mukul badan sendiri.
”’Bawa yang satu ini!’ Mata Picak memberi perintah.
”’Jangan, Tuan. Jangan. Kasihanilah kami. Dia anak kami satu-
satunya.’ Kali ini ayah si bocah yang lompat hendak memeluk
kaki Mata Picak.
”’Anak tunggal? Oh, itu lebih bagus lagi.’ Mata Picak ter-
tawa.
”Saya mohon, Tuan.’ Ayah si bocah menangis. Sejak tadi rasa
takutnya sudah di ubun-ubun, satu-satunya yang ada di kepala-
nya adalah memohon. ’Apa saja, Tuan. Tuan boleh bisukan istri
saya, Tuan boleh butakan saya, tidak mengapa. Tapi jangan
ambil anak kami. Kasihanilah kami, Tuan.’
”’Dia menangis. Oh, lucu sekali melihat pria dewasa menangis.
Lihat, lihat, dia menyeka hidungnya yang beringus. Lucu sekali
ini.’ Mata Picak terpingkal, tawa merendahkan. Enam centengnya
lagi-lagi ikut tertawa. Meski hujan terus turun, udara dingin
mengungkung perkampungan, ruangan itu terasa sesak melihat
begitu berkuasanya Mata Picak. Tidak ada yang bisa melawan-
nya. Tidak ada.
”Ayah si bocah, di tengah putus asanya, di tengah ujung akal
sehatnya, berderap berlari masuk kamar, meraih tombak berburu
babi miliknya.
”’Matilah kau orang jahat. Matilah kau!” Dia berusaha me-
nombak Mata Picak.
”’Cilukba!’ Mata Picak terkekeh. Bukannya menghindar, kepala-
nya malah melongok ke arah ayah si bocah, seperti anak kecil
359
Isi-Negeri Bedebah.indd 359 7/5/2012 9:51:14 AM