Page 365 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 365
hanya bisa tersungkur tanpa bisa protes, tidak ada yang bisa me-
reka lakukan. Salah satu centeng menggendong Opa kasar, mem-
bawa pergi.
”Kami berempat dimandikan air kembang. Mata Picak mem-
baca mantra. Murid-muridnya berjingkrak senang. Opa hampir
mengeluarkan air di mulut saat dipaksa masuk ke dalam guci.
Kepala Opa ditekan kasar. Mereka menutup guci dengan
anyaman rotan. Mata Picak menyegelnya dengan mantra. Tiga
anak lain langsung tertidur setelah mantra dibacakan. Dan ter-
nyata itulah gunanya pesan Ibu. Konsentrasi Opa mati-matian
menjaga air di dalam mulut agar tidak tertelan atau keluar, mem-
buat Opa tidak bisa dimantra. Opa tetap terjaga.
”Ritual sesembahan Sungai Kuning itu dilakukan malam hari,
saat purnama berada di titik paling tinggi. Murid-murid Mata
Picak terus saja sibuk dengan teriakan, tarian, dan semua pro-
sesi. Hujan deras membungkus perkampungan, banjir semakin
menggila, Sungai Kuning meluap-luap. Suaranya terdengar
hingga perkampungan. Opa bisa mendengarnya dari dalam guci.
Ketika Mata Picak melolong panjang, muridnya berbaris mem-
bawa empat guci itu ke bibir sungai, dan dengan satu teriakan
perintah dari Mata Picak, empat guci dilemparkan, berdebum
langsung ke dalam air deras. Air sungai meledak empat kali me-
nyambut guci-guci yang dilemparkan.”
Opa tersenyum melihat wajah terperangahku.
”Tentu saja Opa selamat, Tommy. Opa selamat…. Opa tidak
pernah berada di dalam guci itu saat dilemparkan. Opa sudah
melarikan diri saat Mata Picak dan murid-muridnya sedang
ekstase membaca mantra. Mereka dibutakan oleh kesaktian, me-
rasa tidak akan ada lagi yang bisa melawannya. Mereka mening-
363
Isi-Negeri Bedebah.indd 363 7/5/2012 9:51:14 AM