Page 382 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 382
dia, sepenting apa pun posisinya di partai, berkata benar. Aku
tidak bisa mendikte pertemuan, aku terlambat, jadi harus meng-
ikuti prosedur mereka. Baik, aku mengangguk setelah berpikir
beberapa detik. Orang itu tersenyum, menunjuk lorong di hotel,
balas mengangguk, melangkah santai, memimpin di depan.
Kami tiba di ruangan berukuran 4 x 6 meter, persis di bela-
kang ruangan auditorium. Ingar-bingar konvensi langsung padam
saat pintu ditutup. Sistem kedap suara ruangan ini berjalan baik.
Dua sofa mewah melintang di tengah, beberapa meja kerja de-
ngan layar komputer terbaik, lemari es, mini bar, dan pendingin
udara yang disetel maksimal, dingin. Ruangan itu kosong, hanya
kami bertiga—sepertinya semua anggota partai, staf, dan panitia
sedang berada di ruangan auditorium, mendengarkan pidato
pembukaan konvensi.
”Percaya atau tidak, ini ruang tunggu ketua partai kami be-
berapa menit lalu sebelum pidato sekaligus membuka konvensi.”
Orang itu tertawa. ”Kau duduk di sana, Thomas. Silakan me-
rasakan bekas duduknya. Hangat? Siapa tahu bisa ketularan
menjadi orang penting.”
Aku tidak mengerti selera humor orang di depanku—selera
humor orang-orang politik, tapi demi sopan santun aku ikut
tertawa. Rudi tidak, dia duduk tanpa banyak ekspresi, menatap
sekitar.
”Omong-omong, kau tidak tertarik menjadi anggota partai
kami, Thomas?” Dia duduk di sofa satunya. ”Kami membutuh-
kan banyak sekali orang-orang potensial.”
Aku menggeleng. ”Aku sepertinya tidak berbakat.”
”Ayolah, kau tidak perlu bakat apa pun untuk menjadi poli-
tikus, Thom. Siapa pun bisa, bahkan tanpa ijazah formal, itu
380
Isi-Negeri Bedebah.indd 380 7/5/2012 9:51:14 AM