Page 378 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 378
”Bisa!” Dua ribu peserta konvensi berteriak dengan mengepal-
kan tinju ke udara.
”Bagaimana, Saudara? Apakah Saudara bisa menjadi kader
partai yang membanggakan, yang tidak memfitnah, bicara
sembarangan, selalu santun, beretika, dan terhormat?”
”Bisa!” Sekali lagi dua ribu peserta konvensi mengepalkan
tinju ke udara.
Aku untuk kedua kalinya mengeluarkan suara puh, mengabai-
kan geleng-geleng kepala Rudi—apalagi ingar-bingar teriakan
anggota konvensi di dalam auditorium. Aku sudah menekan
nomor telepon satelit milik Kadek, setidaknya memastikan me-
reka baik-baik saja di kapal.
”Selamat sore, Tommy.” Itu suara Opa, terdengar khas, tenang
dan menyenangkan.
”Sore, Opa.” Aku mengembuskan napas lega.
”Kadek sedang menyiapkan makan malam. Dia sibuk meng-
aduk masakan di kuali. Dia menyuruh Opa mengangkat telepon.
Terlalu sekali pekerjamu ini, menyuruh-nyuruh Opa. Tadi dia
bahkan tega menyuruh orang tua ini mengiris bawang, cabai.”
Opa terkekeh.
Aku ikut tertawa pelan. Selalu menjadi selingan efektif
mendengar suara Opa, bahkan dalam situasi seperti ini.
”Semua baik-baik saja, Tommy. Kau tidak perlu cemas. Om-
mu yang mengendalikan kemudi kapal. Dia masih terampil,
ditemani Maggie, karyawanmu. Kami jauh dari daratan, berputar
pelan di Kepulauan Seribu. Boleh jadi kami akan menuju Singa-
pura sore ini. Tidak akan ada yang peduli dengan kapal yacht di
sana, ada banyak yang lain, akhir pekan.” Opa, seperti biasa,
menjawab kekhawatiranku sebelum kujawab.
376
Isi-Negeri Bedebah.indd 376 7/5/2012 9:51:14 AM