Page 61 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 61
kelelahan. Aku sudah menekan pedal gas, memasuki area
bandara.
Telepon genggamku berbunyi saat ambulans sudah terparkir
di depan pintu gerbang keberangkatan. Aku menuntun Om
Liem agar bergegas menuju meeting point.
Telepon dari Randy. Dia memberikan nomor loket imigrasi
yang harus kutuju.
”Terima kasih, Sobat.” Aku tertawa pelan—akhirnya aku ter-
tawa setelah semua ketegangan. ”Aku berjanji, demi bantuan ini,
lain kali jika bertarung denganmu, aku tidak akan menghajarmu
habis-habisan.”
Randy terdengar mengeluarkan sumpah serapah. Aku sudah
menutup telepon.
Salah satu staf perusahaan sudah menunggu di meeting point,
menyerahkan amplop cokelat besar.
”Semua tiket, paspor Tuan Liem, ada di dalamnya.”
”Kau tidak kesulitan ke sini?” aku basa-basi bertanya, meng-
hela napas lega melihat isi amplop.
”Saya manajer hotel bandara, Pak. Sekaligus membawahi loket
travel agent. Jadwal saya berjaga malam ini. Hotel dan travel
agent juga milik Tuan Liem. Kami selama ini yang menyiapkan
dokumen perjalanan, termasuk menyimpan paspor keluarga
Tuan Liem. Jadi sama sekali tidak ada kesulitan.”
Aku mengangguk, menuntun Om Liem memasuki ruangan
check-in.
Meski tidak seramai siang hari, aktivitas dini hari bandara
tetap sibuk.
Cahaya lampu berkilauan. Para calon penumpang mendorong
troli berisi koper. Meja check-in penuh dengan antrean.
59
Isi-Negeri Bedebah.indd 59 7/5/2012 9:51:07 AM