Page 58 - Tere Liye - Negeri Para Bedebah
P. 58
klinik, apa saja yang buka dua puluh empat jam,” aku berseru,
teringat sesuatu.
”Eh, buat apa?”
”Lakukan saja, Ram. Telepon sebanyak mungkin rumah sakit,
laporkan situasi palsu, bilang ada keadaan darurat di sembarang
tempat, suruh mereka mengirim ambulans. Aku ingin satu menit
lagi ada belasan ambulans berkeliaran di jalanan kota, itu akan
mengelabui polisi yang sedang melakukan pengejaran. Waktuku
bukan menit, Ram, tapi detik, jadi bergegaslah.”
Telepon genggam kumatikan. Aku juga harus mematikan
sirene ambulans agar tidak menarik perhatian, membanting setir
ke kanan, dan ambulans segera menaiki jalur tol menuju bandara,
berpisah dengan barisan truk kontainer menuju pelabuhan peti
kemas. Aku melirik penanda kilometer di pembatas jalan tol,
bandara masih 20 kilometer lagi. Aku menekan pedal gas sedalam
mungkin. Dengan kecepatan 140km/jam, aku hanya butuh
delapan menit.
Sekali ini, jalan tol lengang, menyisakan pendar cahaya lampu
di aspal.
Aku menghela napas, mengusap keringat di pelipis.
Baru beberapa hari lalu aku ceramah panjang lebar tentang
sistem keuangan dunia yang jahat dan merusak, tapi sekarang
aku melarikan seorang tersangka kejahatan keuangan. Baru be-
berapa menit yang lalu aku masih terdaftar sebagai warga negara
yang baik, bertingkah baik-baik dan selalu taat membayar pajak,
tapi sekarang aku menjadi otak pelarian buronan besar.
Aku menepuk dahi, teringat sesuatu, dan dengan cepat meraih
telepon genggam.
Kuhubungi satu nomor. Hingga habis nada panggil, telepon
56
Isi-Negeri Bedebah.indd 56 7/5/2012 9:51:07 AM