Page 112 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 112

Jo  sebenarnya  adalah  pekerja  keras.  Dia  bersedia  melakukan  apapun  demi  definisi

               kecantikan  yang  disepekati  orang-orang.  Dia  bersedia  tidak  makan  berhari-hari,  dia
               bersedia berolahraga berjam-jam, demi terlihat lebih ramping. Kalau dia bersedia enam

               kali masuk rumah sakit karena berusaha menguruskan badan, maka jangan ditanya lagi.

               Tapi sepertinya takdir gendut itu tidak mudah dikalahkan. Entah apapun hikmahnya.


               “Astaga,  tentu  saja  Tuhan  adil,  Jo.”  Vin  buru-buru  ber-hsss,  memotong  kalimat  Jo

               barusan,  “Kita  saja  yang  tega  membuat  definisi  sendiri  soal  kecantikan.  Semua  bayi
               terlahir  cantik,  menggemaskan.  Semua  anak-anak  tumbuh  menjadi  remaja  dengan

               kecantikan masing-masing. Lantas dewasa juga dengan kecantikan masing-masing.”


               “Kata  siapa?”  Jo  tidak  mau  kalah,  “Ada  yang  memang  sejak  lahir  hidungnya  sudah

               mancung, matanya sudah bagus, rambutnya bagus. Dan bukankah juga ada yang sejak

               lahir sudah pesek, kulitnya  hitam,  rambutnya  jelek. Di mana coba letak adilnya? Kita
               tidak bisa memesan, kalau bisa, kita semua pasti minta dilahirkan cantik.”



               Itu  percakapan  kesekian  kalinya.  Beberapa  tahun  lalu.  Mereka  sedang  asyik  liburan
               berdua, duduk menikmati matahari tenggelam, dan entah kenapa tiba-tiba percakapan

               menjadi berubah sensitif—sebenarnya karena ada pasangan bulan madu di dekat meja
               mereka. Itu lagi, itu lagi.



               “Itu karena kita semua terlanjur menterjemahkan cantik seperti itu, Jo.” Vin memegang
               lengan Jo, “Tuhan tidak pernah memberikan definisi kecantikan. Astaga, Jo, kau lancang

               sekali barusan bilang Tuhan tidak adil. Aku sampai merinding mendengarnya.”


               “Memang.”  Jo  berseru  ketus,  “Kalau  Tuhan  adil,  seharusnya  kecantikan  itu  diperoleh,

               bukan diberikan sejak lahir. Siapa yang paling keras kerjanya, maka dia berhak paling
               cantik.”



               “Ya  ampun,  Jo.  Sudahlah,  sudah.”  Vin  menepuk  dahinya,  memutuskan  untuk  segera
               menghentikan  diskusi,  akan  semakin  buruk  mood  Jo  kalau  percakapan  tersebut

               diteruskan, dan tidak ada manfaatnya lagi, lebih baik kembali menikmati sunset, tidak

               peduli dengan pasangan bulan madu yang duduk mesra di sekitar mereka.
   107   108   109   110   111   112   113   114   115   116   117