Page 109 - Sepotong Hati Yang Baru - Tere Liye
P. 109

“Cantik  itu  relatif,  Jo.”  Vin  menatap  gelas  milkshake  di  hadapannya,  tersenyum,

               memecah  lengang  barusan,  “Kau  tahu  sendiri  bukan,  aku  bekerja  di  perusahaan
               kosmetik. Aku tahu bagaimana strategi dan bisnis kecantikan bekerja.”



               “Apa  yang  mereka  bilang?  Cantik  harus  putih?  Well,  jika  akhirnya  banyak  orang
               meyakini  kalimat  tersebut,  itu  tidak  lebih  karena  marketing  perusahaan  kosmetik

               sukses besar. Di negara-negara Asia, misalnya, yang kebanyakan berkulit cokelat, tentu

               saja  perusahaan  kosmetik  tidak  akan  koar-koar  beriklan,  cantik  itu  cokelat.  Mau
               menjual produk kemana dia kalau semua sudah berkulit cokelat?



               “Dan  sebaliknya,  di  negara-negara  Eropa,  Amerika,  yang  kebanyakan  berkulit  putih,
               perusahaan  kosmetik  pastilah  berlomba-lomba  bilang  cantik  itu  cokelat,  membuat

               banyak  orang  ramai-ramai  melakukan  tanning,  membeli  produk  menggelapkan  kulit,

               dan sebagainya. Itu hanya permainan kampanye, kepentingan bisnis. Tidak lebih tidak
               kurang. Masuk akal, kan?”



                “Terserah, cantik itu mau putih, mau cokelat.” Jo masih menjawab sarkas, “Yang pasti
               tidak ada  di  belahan dunia ini kalau cantik itu gendut seperti  gajah jumbo atau paus

               bunting.”


               Vin  tertawa  kecil,  menghela  nafas,  mulai  putus  asa,  “Ayolah,  Jo.  Itu  hanya  lelucon.

               Lagipula,  customer  itu  sedang  jengkel  karena  kau  selalu  begitu.  Setiap  kali  melihat
               teman menikah, tiba-tiba bersedih hati tanpa alasan, melayani customer hendak honey

               moon,  bersedih  hati,  tidak  semangat  seperti  ikan  kehilangan  tulang,  malah  benci.

               Bahkan  bukankah  beberapa  waktu  lalu  saat  membaca  berita  pernikahan  Pangeran
               Inggris  saja  kau  memutuskan  berhenti  menonton  televisi,  berhenti  membaca  koran

               berhari-hari  karena  bersedih  hati.  Padahal  apa  salah  mereka  kalau  mereka  menikah,
               punya pasangan, sementara kita tidak laku-laku?”



               Malam semakin larut, Vin melirik lagi jam di pergelangan tangannya, kafe itu semakin
               ramai  sebenarnya,  banyak  pekerja  yang  menunda  pulang,  malas  melewati  macet,

               memutuskan duduk ngobrol bersama yang lain.
   104   105   106   107   108   109   110   111   112   113   114