Page 157 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 157

Sejarah Pemikiran Indonesia Modern




                minoritas mati-matian membela Sukarno, sedang (Kampret) Saeroen di
                Pemandangan  dan  Hatta  di  Daulat  Ra’jat  mengecam  Sukarno  karena
                pendiriannya tidak tetap. Dalam dua artikel Hatta, Tragedi Sukarno dan
                ‘Sikap Pemimpin’ menurutnya pemimpin Partindo itu telah mati secara
                politik dan dengan begitu tak lagi ada gunanya bagi pergerakan. Untuk
                memberikan  jalan  bagi  frustasinya  sendiri  yang  tertekan  pandangan
                Hatta sangatlah kasar dan mendekati pembunuhan karakter. Ia kembali
                dengan tema yang sama pada Daulat Ra’jat, No. 71, 30 Agustus dalam
                tulisannya Oedara Politik, lalu Pergerakan dalam rentangan 20 September
                selanjutnya  tentang  tindakan    pemerintah  dan  polisi  setempat  yang
                bertindak  sepihak  dan  sewenang-wenang  dalam  pertemuan  organisasi
                pergerakan  pada  10  Oktober.  Dalam  ‘tragedi  Soekarno’  ia  mengutip
                artikel sebelumnya dalam koran yang sama 10 Agustus 1933. Dikatakan
                olehnya bahwa karena Soekarno telah tampil sebagai seorang pemimpin,
                pertama pemimpin PNI kemudian Partindo, hidupnya diberikan untuk
                memenuhi tugas dan membawa pengabdian.
                        Dalam tulisannya Hatta melanjutkan Sukarno bukanlah menjadi
                korban  tindakan  atau  kekejaman  pemerintah  tetapi  ia  menjadi  korban
                dirinya  sendiri  karena  moralnya  yang  rendah  dan  karakternya  yang
                merosot  dengan  jelas.  Hatta  kemudian  bertanya  apakah  tepat  seorang
                yang  mempersiapkan  diri  untuk  bertanggung  jawab  secara  moral  kini
                menolak  konsekuensi  kegiatannya  sendiri.  Ia  menjawabnya  ‘perilaku
                Sukarno menodai pergerakan, dan untuk itu dia harus dikecam dengan
                     54
                keras .  Dalam  artikel  ‘sikap  pemimpin’  Hatta  menolak  pendapat  pers
                bahwa Sukarno tidak  boleh dinilai terlalu kasar dengan bertahan pada
                pandangan  sebelumnya.  Pandangan  lebih  elastis  disampaikan  Tjipto
                Mangunkusumo  dan  Sanoesi  Pane.  Cipto  mengatakan  bahwa  pers
                terlalu cepat menjatuhkan tuduhan pada perilaku Sukarno menuduh dan
                menghukum  sekaligus.  Soal  Sukarno  minta  ampun  menjadi  analisis
                psikologi  Cipto.  Sejak  ia  dibebaskan  dari  Sukamiskin  karena  adanya
                pengampunan yang diberikan oleh De Graeff, sejak itu ia menjadi pasien
                psikis.  Waktu  itu  Thamrin  mengusulkan  agar  Sukarno  melakukan
                perjalanan ke luar negeri. Tetapi kalangan dalam partai tidak menyukai
                saran itu dengan alasan ‘pergerakan membutuhkan dirinya siang malam.
                Perjalanan  keluar  negeri  merupakan  contoh  pengecut.  Sanusi  Pane
                dalam Soeara Oemoem mengulangi lagi Cipto yang lebih terang-terangan
                mengenai  pers.  Menurut  observasinya  pers  telah  gagal  dalam
                mengabdikan dirinya pada orang yang bernama Sukarno, pada otaknya
                yang  brillian,  dan  semangatnya,  integritas  dan  hidupnya  yang
                           55
                mendalam.
                        Setelah  keluar  dari  Sukamiskin,  Sukarno  segera  tampil  baik
                didepan  podium  maupun  melalui  surat  kabar.  Dalam  majalah  Fikiran
                Ra’jat  memuat  karangan-karangan-diskusi-diskusi  dalam  gaya  Marxist




                                              Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya   149
   152   153   154   155   156   157   158   159   160   161   162