Page 155 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 155
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
kaum Marhaen ia menyatakan Partindo dan PNI Baroe merupakan dua
partai kaum Marhaen. Usaha pintu terbuka di pihak Sukarno demi
persatuan bagi kompromi hari depan Indonesia ditolak dengan keras
oleh grup Hatta. Menurut Hatta kepercayaan politik Sukarno serta cara-
cara propaganda yang dilakukannya sangat berbahaya bagai obat
mengandung candu bagi kaum marhaen. Para pemimpin PNI Baroe juga
menolak kharisma Sukarno yang mereka pandang sebagai ekslusif
bertalian dengan mistik Jawa dan khayalan wayang. Sukarno dengan
dasar pandangan dan keyakinannya terus mencoba mempersatukan
kelompok sekuler dengan mereka yang berorientasi pada yang sakral
dalam pergerakan nasional dianggap sebagai dangkal sama sekali
bikinan dan buang-buang waktu. Apa yang dilakukan Sukarno itu
merupakan per-sate-an (bukan persatuan) sedangkan hal ini harus
dilakukan dengan cara rasional dengan pendidikan politik yang baik
menuju front persatuan yang stabil dengan sekelompok kecil kader. PNI
Baroe berharap dapat mencapainya lewat latihan keras dan pendidikan
jika perlu masuk ke dalam parlemen Belanda. Mereka hanya percaya
sebagian saja pada kehendak Sukarno dan Partindo mengenai persatuan
yang dihimpun dalam bentuk PPPKI. Menurut Hatta dalam
kenyataannya hal itu melanggar prinsip marhaenisme. 52
Keputusan Sukarno masuk dalam barisan Partindo
menyebabkan perpecahan yang berlarut-larut menjadi nyata dalam
gerakan nasionalisme Indonesia. Perpecahan ini yang sudah lama
membara tetapi tidak pernah diselesaikan, sesungguhnya dimulai sejak
pertemuan PI dan pimpinan pemuda nasionalis Bandung untuk
membentuk PNI pada tahun 1927. Dalam pertemuan yang dipimpin
Sukarno itu ketegangan antara kedua kelompok dapat dicegah. Tetapi
setelah ia ditangkap, terbuka kesempatan bagi kedua belah pihak untuk
lebih nyata mengemukakan perbedaan-perbedaan pendirian dan sikap
politiknya. Persaingan antara Partindo dan PNI Baru sering dilihat
sebagai persaingan antara kaum radikal dan kaum moderat atau antara
barisan kiri dan barisan kanan. Pada awal tahun 1930-an antitesis seperti
ini sebenarnya tidak berlaku. Partindo yang menekankan nonkooperasi,
swadaya dan aksi massa sesungguhnya serupa dengan PNI Lama. Tetapi
PNI Baru sama sekali tidak dapat dikatakan moderat karena
penekanannya untuk mempersiapkan pemimpin-pemimpin yang mantap
secara bertahap, ia berhak menyatakan dirinya lebih radikal dari
Partindo yang mencoba memobilisasi massa.
Bagi Soekarno pertimbangan PNI Baroe tersebut sama sekali
bertentangan dengan pandangannya. Pribadinya sendiri sebagai
bentukan sikritisme serta prinsip rukun dan harmoni yang menjadi
bagian pandangan hidup Jawa Bali, sehingga ia memandang upayanya
untuk mempersatukan semua faksi dalam PPPKI merupakan langkah
politik utama. Sudah pada 1926 dalam tulisannya ia mengumumkan
Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya 147