Page 164 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 164

Sejarah Pemikiran Indonesia Modern



                Courant (1810), Soerabaja-Courant (1837), Tijdscrift voor Nederlandsch-Indie
                (1838),  Indisch  Magazijn  (1844),  Samarangsch  Advertentieblad  (1845),
                Soejabaiasch Handelsblad  (1852), Java-Bode (1852), De Locomotief  (1852),
                Bromartani (1855), dan Poespitamantjawarna (1855).
                        Dengan  telah  adanya  surat  kabar  atau  majalah  tersebut,
                kenyataan atau perkembangan serta dinamika zaman jelas mulai dapat
                terabadikan  kendati  tanpa  suatu  landasan  kesadaran  akan  sisi
                dokumentatif  ini,  bahkan  oleh  pengelola  media  massa  tercetak  itu
                sendiri. Sudah barang tentu, yang termuat dalam media-media tersebut
                belum  dan  tidak  akan  mampu  menggambarkan  realitas  zaman  secara
                menyeluruh,  namun  paling  tidak  hal-hal  yang  dianggap  penting  pada
                suatu masa atau periode, telah terdata dan tercatat secara tetap sehingga
                pembaca  atau  siapa  saja  di  kemudian  hari  akan  mampu  menelusuri
                peristiwa atau catatan kejadian dengan lebih mudah dan lebih mendekati
                kenyataan  yang  ada.  Dibandingkan  dengan  kisah  atau  cerita  yang
                diturunkan  atau  disampaikan  secara  lisan,  khususnya  pada  waktu  itu,
                hal-hal yang tertulis mempunyai keajegan yang jauh lebih terjaga. Oleh
                kenyataan yang sedemikian ini, menjadi jelas kiranya bahwa terbit dan
                berkembangnya  media  massa  tercetak  pada  pertengahan  abad  ke-19
                tersebut  tidak  dapat  dimungkiri  sebagai  mempunyai  sumbangan  yang
                penting dan signifikan bagi pendokumentasian gerak dan arus zaman.
                        Dalam  kaitan  dengan  dunia  cetak-mencetak  atau  tulis-menulis,
                ada  prasyarat  yang  tentu  harus  dipenuhi  oleh  para  pelaku  itu,  yaitu
                kemampuan  membaca  dan  menulis.  Untuk  memperoleh  kemampuan
                ini, hal yang lazim harus ditempuh adalah mengikuti  pendidikan, baik
                secara formal maupun nonformal. Sementara itu, di masa kolonial atau
                penjajahan  itu,  masa  ketika  diskriminasi  dalam  segala  bidang  dengan
                nyata  diberlakukan,  hanya  sedikit  penduduk  asli  atau  pribumi  yang
                berpeluang atau diberi kesempatan untuk menempuh pendidikan formal.
                Bahkan ketika Politik Etis yang pertama diberlakukan, yaitu pada kurun
                1900-1905,  hanya  orang  pribumi  dari  golongan  elite  dan  dari  keluarga
                kaya saja yang berkemungkinan atau dapat menempuh pendidikan, baik
                melalui  OSVIA  (Opleidengscholen  voor  Inlandsche  Ambtenaren  atau
                Sekolah Latihan untuk para Pejabat Pribumi) atau STOVIA (School tot
                Opleiding van Indlandsche  Artsen atau Sekolah Latihan untuk Dokter
                         3
                Pribumi).   Padahal,  seperti  telah  disebutkan,  surat  kabar  atau  majalah
                berbahasa Melayu telah terbit pada tahun 1856, yang artinya telah terbit
                ketika  pendidikan  yang  terstruktur  seperti  baru  saja  disebutkan,  belum
                didirikan  di  Indonesia.  Kalaupun  sudah  ada,  pendidikan  formal  yang




                156    Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya
   159   160   161   162   163   164   165   166   167   168   169