Page 191 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 191

Sejarah Pemikiran Indonesia Modern





                       ALZAMANUR: Siapa tuan yang datang itu?

                       BUJANGGA: Beta Bujangga anak piatu,
                                                                28
                                       Tidak bertanah tidak beribu

                        Seperti  “bajak  laut”  yang  dipergunakan  oleh  Mas  Marco
                Kartodiromo  untuk  menggambarkan  perangai  atau  perilaku  penjajah,
                dalam  drama  ini  ditampilkan  tokoh  Rawana  yang  secara  umum
                dipahami sebagai sosok atau tokoh yang sangat kurang ajar atau tidak
                baik. Citra Rawana adalah citra yang sangat negatif yang dalam kaitan
                ini  identik  dengan  citra  penjajah  atau  kolonialis.  Sedangkan  yang
                diharapkan oleh Bebasari tentu adalah tokoh seperti Rama yang mampu
                memberantas keangkaramurkaan dan  mampu  membebaskan siapa saja
                dari  penindasan.  Inilah  gambaran  kenasionalan  yang  terwujud  dalam
                karya  sastra  berbentuk  drama  yang  dikemas  dengan  simbolisme  yang
                memang  tidak  secara  mudah  langsung  dapat  ditangkap  maknanya.
                Drama  yang  lain  tentu  ada  pula  yang  menampilkan  tema  seperti  ini
                namun  dapat  dinyatakan  di  sini  sebagai  sangat  sedikit  jumlahnya,
                terlebih jika dibandingkan dengan karya sastra yang berbentuk puisi. Hal
                ini  tidak  mengherankan  sebab  puisi,  ditilik  dari  segi  bentuk  dan  isi,
                memang  lebih  memungkinkan  membawa  suara-suara  pemberontakan,
                kritik sosial, atau hal-hal yang senada dengan itu, dibandingkan dengan
                prosa atau drama.



                4.4.  Polemik Kebudayaan
                4.4.1 Polemik sebagai Representasi Dialektika Pemikiran
                       Dalam konteks atau kaitan dengan kegairahan “menjadi” suatu
                bangsa, utamanya hal ini dipicu salah satunya oleh semacam eforia dari
                peristiwa yang sangat bersejarah, yakni Kongres Pemuda II pada tahun
                1928 yang melahirkan “Sumpah Pemuda”, merupakan hal yang sangat
                wajar  apabila  penentuan  akan  kedirian  atau  identitas  kemudian
                mewujud  menjadi  semacam  orientasi  atau  obsesi  bagi  sebagian  orang,
                khususnya  adalah  mereka  yang  dengan  sangat  sadar  perlu  turut
                memikirkan  persoalan  ini.  Sudah  barang  tentu,  dari  sekian  banyak
                pemikiran  yang  sangat  mungkin  ada  dan  barangkali  saja  juga  sering
                diperdebatkan,  yang  pada  gilirannya  dikenal  luas  dan  menjadi  ramai
                sebagai  polemik,  adalah  pikiran-pikiran  yang  dinyatakan  atau



                                              Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya   183
   186   187   188   189   190   191   192   193   194   195   196