Page 188 - PEMIKIRAN INDONESIA MODERN 2015
P. 188
Sejarah Pemikiran Indonesia Modern
dengan penanya secara tidak langsung mampu melakukan semacam
prediksi akan “nasib” bangsa ini ketika peristiwa “proklamasi” pun
masih jauh dari kenyataan. Sudah barang tentu, kemampuan yang
bersifat prediktif ini bukan karena mereka adalah cenayang melainkan
karena mereka adalah para cerdik pandai di masanya yang jumlahnya
memang belum seberapa. Dengan pengertian lain, wawasan atau
pengetahuan yang telah mereka peroleh yang telah menyebabkan
mereka mempunyai kesadaran kenasionalan maupun kewilayahan yang
sedemikian itu.
Sejumlah sajak lain sesungguhnya masih ada yang secara
langsung maupun tidak menggambarkan adanya kesadaran
kenasionalan yang seperti ini, namun kali ini tidak akan dibicarakan.
Sementara itu pada prosa, tidak terlalu mudah untuk melacak jejak sikap
kenasionalan yang selangsung atau sejelas pada sajak atau puisi ini,
mengingat bahwa di dalam prosa, aspek cerita atau kisahan lebih
mendominasi daripada aspek “suara” sang pengarang. Namun
demikian, tidak berarti pula bahwa tidak ada suara kenasionalan yang
terrefleksi dalam prosa, hanya kali ini hal itu belum dibicarakan.
Sementara itu pada drama, dapat disebutkan bahwa Bebasari karya
Roestam Effendi sesungguhnya juga membicarakan permasalahan
keindonesiaan atau kenasionalan, namun dikemas dengan perlambang
atau simbol yang cukup tersamarkan. Meskipun begitu, judul “bebasari”
sesungguhnya sudah menuntun pemahaman kita akan adanya kehendak
untuk menuju alam kebebasan atau keinginan untuk terbebas dari
belenggu yang selama ini ada. Sebagai gambaran, berikut ini adalah
cuplikan dari drama bersajak yang berjudul Bebasari tersebut.
Di dalam taman, sebelah di belakang kebun bunga, sebelah ke
muka batu-batu dan pohon-pohon, yang besar-besar. Diterangi
achtergrond dengan cahaya hijau. Voorgrond kelam;
voetlight tiada dipasang. Seorang tua duduk bersela, bersidekap
tangan, diam menunggu. Suara dari belakang meratap, orangnya
tiada kelihatan.
BEBASARI: O Kanda, kekasih hatiku.
Sampai sungguh hati tuanku,
Membiarkan beta menahan rajam,
Tidak tertahan bagi badanku.
O Kakanda, kalbuku rindu,
Menangisi tilam setiap malam.
180 Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya